Pasific Pos.com
Opini

Menimbang Kemenangan dan Membangun Peradaban Fitri

Oleh : Abu Nawas

“Sesungguhnya orag-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya, dan hanya kepada mereka bertawakkal, dan juga menginfakkan sebagian rezekinya yang diberikan kepada mereka (QS: Al-Anfal: 2-3).
“Tanda-tanda orang bertaqwa adalah bersegera dalam kebaikan, bersabar dalamm ketaatan, gemar berinfak atau bersedekah, dapat mengendalikan amarah, memiliki jiwa pemaaf, hatinya senantiasa tertaut kepada Allah, serta selalu memohon ampun dan bertaubat kepada Allah (QS: Ali Imran: 133-135).
“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…! (QS: Al-Qoshosh: 77).

Makna Berpuasa

Berpuasa adalah proses pelatihan dan pembentukan, serta penempahan sikap mental ketaqwaan yang diakhiri dengan lebaran. Lebaran merupakan momentum penganugerahan predikat taqwa bagi mereka yang telah beribadah di dalamnya selama satu bulan penuh. Predikat taqwa akan diperhadapkan pada ujian peningkatan kepada jenjang yang lebih tinggi. Lebaran menjadi titik start untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang dibawa dari Ramadhan. Bilamana dalam sebelas bulan ke depan mengalami perubahan yang progres dan pengejawantahan menjadi rahmat lil alamin dan konsep manusia terbaik dengan kebermanfaatan dalam hidup bersama merupakan indikator kemenangan. Perubahan berkemajuan setelah lebaran dapat dimaknai sebagai peradaban.

Berbicara tentang kemenangan dan peradaban dengan perubahan berkemajuan, banyak realita kehidupan sekitar yang dapat menjelaskan secara sederhana dan mudah dipahami, terutama perubahan perilaku selama, dan pasca pandemi covid-19. Selektivitas dan ikhtiar peminimalan konsumsi menjadi standar pemilihan dan penentuan berbagai kebutuhan. Apalagi minyak goreng yang kini terjadi kelangkaan dan dengan harga yang meroket, dan berimplikasi pada kenaikan kebutuhan pokok secara bergantian, dan tidak ada tanda-tanda akan menurun. Perilaku menahan rasa dengan membatasi atau menunda kebutuhan yang tidak terlalu penting merupakan kebijakan cerdas dan bertanggung jawab adalah perwujudan kemenangan dan peradaban. Ternyata, peradaban dapat memiliki hubungan makna dalam menentukan pilihan yang sulit diantara keinginan dan kebutuhan yang saling berlomba menawarkan diri. Kemampuan untuk memutuskan sesuatu pilihan yang bermashlahat. Sekali lagi, sesuatu pilihan yang bermashlahat, maka itulah bagian dari peradaban. Padahal, selama ini, peradaban sering dipahami dan dihubungkan dengan kebudayaan dalam arti fisik.

Lebaran menawarkan tantangan dengan potensi kekalahan dibandingkan dengan kesuksesan dan kemenangan untuk melaluinya. Mereka yang menjalani puasa Ramadhan dengan baik akan memiliki pengendalian diri yang tangguh. Akan tetapi sebaliknya, mereka yang tidak menjalani puasanya dengan baik akan memperturutkan nafsunya. Kecenderungan akan pilihan yang bermashlahat menjadi penentu bagi kemenangan dan peradaban. Akankah lebaran kali ini, membawa kemenangan dan menjadi lebaran yang berperadaban?

Mendahulukan yang Prioritas

Sikap dan keputusan mendahulukan yang prioritas merupakan salah satu kebiasaan menusia berprinsip (Covey, 2010). Konsekuensi dari pendapat ini, menuntut adanya program kerja dan daftar kebutuhan yang telah tersusun apik dan terencana. Program kerja dan daftar kebutuhan akan menjadi pedoman serta acuan dalam setiap langkah dan kegiatan. Tentu, akan menjadi lebih sempurna bila diberi estimasi dan target pencapaian. Sikap mendahulukan yang prioritas akan memosisikan kebutuhan lebih dominan daripada keinginan. Kebiasaan mendahulukan yang prioritas akan menciptkan efisiensi, efektivitas, produktivitas akan mewarnai setiap capaian dari ikhtiar.

Terkadang manusia terjebak dalam keinginan di atas kebutuhan. Banyak hal yang tidak dibutuhkan menjadi lekat dengan manusia, padahal sebenarnya tidak diperlukan. Tengok saja almari Anda. Berapa banyak pakaian yang tidak pernah tersentuh dalam setahun. Yang terpakai hanya pada kisaran sepuluh persenan saja. Sisanya merupakan wujud pemborosan. Demikian juga, dalam hal perabotan rumah tangga, terdapat banyak ragam yang sesungguhnya tidak begitu perlu sekali. Dibelinya karena kesenangan dan hobby belaka. Begitu pula berbagai aksesoris kehidupan yang kepemilikannya melebihi dari kebutuhan. Dalam konteks mendahulukan yang prioritas, maka kita dapat mengambil hikmah dari berbuka puasa dan ketika mengantar jenazah ke pemakaman. Bagi orang yang berpuasa bayangan akan nikmatnya makanan, apalagi pada saat jelang berbuka, rasanya keinginan untuk menghabiskan porsi yang tersaji sangat tinggi. Akan tetapi, setelah mencicipi sepotong-dua potong dari sajian berbuka, maka hilanglah segala selera yang bergelora. Itulah kebutuhan manusia. Penambahan melebihi kapasitas akan menjadi penyakit. Demikian juga ketika mengantar jenazah, liang lahat berukuran 2 x 1 meter, bahkan sebelumnya pada tahap mengafani, dibutuhkan kain hanya beberapa lembar. seharusnya menyadarkan manusia akan banyak keinginan yang sejatinya bukan kebutuhan.

Puasa dengan substansi mengendalikan diri dan berkepedulian terhadap sesama, bukan hanya di saat bulan Ramadhan saja, tetapi menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Pengendalian dalam arti mendahulukan yang prioritas. Kepedulian dalam arti senang membantu sesama menjadi sangat penting. Di sinilah makna lebaran setelah berpuasa sebulan penuh ditunggu bahkan dituntut kehadirannya sebagai solusi. Lebaran dalam kemenangan untuk peradaban gemilang.

Semangat Filantrofis

Cara cerdas untuk menggapai keberkahan dalam hidup adalah gemar berbagi. Kegemaran berbagi merupakan wujud nyata dari konsep rahmatan lil alamiin. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, bahwa kebiasaan dan budaya berbagi akan menjadi ringan dan enteng, apabila hati manusia telah menerima rahmat dari Allah SWT dan senantiasa mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Jadi kegemaran berbagi merupakan nikmat dari Allah SWT. Namun untuk menjadikan sebagai kegemaran, maka berbagi itu mesti dilalui dengan uji coba, praktek dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam mewujudkan tekad berbagi sebagai budaya dibutuhkan ilmu tentang keutamaan dan urgensitasnya. Apabila telah terinternalisasi dan senantiasa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan berubah menjadi budaya yang akan menggerus sifat egois, dan sekaligus menuntun untuk memiliki sifat senang berbagi dengan yang lain (altruistik).

Semangat filantrofis menjadi pemandangan yang lazim di kehidupan sehari-hari masyarakat kota Jayapura. Kita sering dibuat terperangah oleh para pembeli yang gemar berbagi ketika berbelanja di kios atau di toko. Demikian juga di tempat-tempat umum, seperti taman-taman, terminal, pantai, apalagi ketika berada di acara-acara adat, semangat altruistik amat sangat mendominasi. Budaya ini merupakan perwujudan dari konsep redistribusi vertikal. Suatu konsep bahwa yang berkelebihan, terpanggil jiwanya dan bertanggung jawab secara moral untuk berbagai kepada mereka yang kekurangan, terutama pada anggota keluarga. Inilah peradaban yang berkearifan lokal yang mesti dijunjung tinggi, dihormati, diapresiasi, dan dicontoh. Dengan penerapan konsep yang demikian, keharmonisan hidup bermasyarakat akan lenggeng, penuh damai.

Senafas dan sejiwa dengan semangat filantrofis, maka berpuasa yang memiliki substansi pengendalian diri dan kepedulian/kepekaan memiliki relevansi yang sangat tinggi. Jika semangat taqwa pada diri setiap orang yang beriman menjadi lebih bertumbuh, maka keinginan untuk merealisasikan semangat filantrofis menjadi bertumbuh pula. Hasrat bertumbuh itu, dapat dimulai dari diri sendiri, dari sekarang, dan dari hal-hal yang kecil. Di antara sekian banyak pilihan, maka gerakan “One Day Five Thousand) merupakan salah satu alternatif. Secara individu saja, apabila diakumulasi akan menjadi signifikan. Terlebih lagi, kalau digerakkan secara kolektif, serentak, dan terorganisasi dengan profesional, maka kemashlahatannya akan menjadi lebih dahsyat. Gerakan filantrofis dapat menjadi bahan kontak komunikaksi yang sangat efektif dalam rangka mempererat ukhuwah dan membangun peradaban gemilang di tanah Papua. Demikian itulah yang disebut kemenangan seja

*)Penggiat Literasi Menulis dari Bumi Cenderawasih Tanah Papua