Pasific Pos.com
Headline

Kebenaran Dan Keadilan Yang Diperjuangkan Dengan Kekerasan Tidak Akan Pernah Berhasil

penembakan polsek di tembagapura
Ilustrasi

Jayapura– Kebenaran dan keadilan boleh diperjuangkan dan harus ditegakkan. Tetapi, perjuangan dengan cara kekerasan tidak akan pernah berhasil, sebab kekerasan akan melahirkan kekerasan lain lagi dan begitu seterusnya. Pernyataan ini disampaikan Pimpinan Gereja Katolik yang terdiri 4 Keuskupan se Provinsi Papua, sebagai bentuk keprihatinan menyusul maraknya aksi kekerasan di sejumlah daerah beberapa waktu belakangan.

Kekerasan bersenjata, khususnya di Kabupaten Intan Jaya dan Puncak, telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa aparat TNI-Polri dan anggota TPNPB-OPM atau yang sering disebut kelompok kriminal (separatis) bersenjata (KKB/KKSB). Serta banyak warga sipil yang terluka dan terbunuh, entah karena ‘salah tembak’ atau karena dicurigai sebagai ‘mata-mata’.

“Siapapun yang menjadi korban, kekerasan kemanusiaan ini membuat kami sedih dan marah. Dan, siapapun pelakunya, entah itu TNI-Polri atau TPNPB-OPM, tidak bisa dibenarkan, biarpun itu dilakukan dengan alasan yang luhur menurut pandangannya,” demikian siaran pers yang ditandatangani Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM, Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM, Administrator Keuskupan Timika RD Marthen Kuayo, dan Vikjen Keuskupan Agung Merauke RP Hengky Kariwop MSC, tertanggal 25 Februari 2021.

Aksi kekerasan yang terus berulang nyaris melumpuhkan aktivitas pemerintah daerah. Bupati dan jajarannya tak bisa menjalankan tugas sebagaimana mestinya karena tidak ada jaminan keamanan, dan di sisi lain masyarakat tidak merasa aman.

Upaya penegakan hukum dengan pendekatan keamanan yang dilakukan Polri dibantu TNI dalam merespons gangguan KKSB justru mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari kedua belah pihak dan warga sipil.

“Akibat lanjutan yang timbul adalah masyarakat menjadi panik dan akhirnya mengungsi sehingga masalah makin rumit. Inilah yang terjadi di Kabupaten Nduga dan Intan Jaya,” tulisnya.

Pimpinan Gereja Katolik di Papua menilai desakan sejumlah pihak untuk menarik aparat keamanan, khususnya TNI, keluar dari Papua adalah tuntutan yang tidak realistis.

“Kami menyerukan agar tindak kekerasan oleh kedua belah pihak, baik TPNPB-OPM ataupun TNI-Polri, harus dihindari dan dihentikan agar masyarakat sipil jangan lagi menjadi korban,” tulisnya.

Berikut tiga solusi pendekatan kemanusiaan yang diajukan Pimpinan Gereja Katolik di Papua yang tergabung dalam “Provinsi Gerejawi Merauke“:

Penegakan Kewenangan dan Tanggung Jawab Bupati
Solusi pertama mengurai kompleksitas permasalahan yang terjadi di Papua dengan menegakkan wibawa dan tanggung jawab Bupati.

Walau hanya disebut sepintas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, namun dalam UU Pemerintahan Daerah, kabupaten/kota adalah daerah otonom yang dipimpin oleh Bupati/Walikota.

Selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat, Bupati berwenang dan bertanggung jawab untuk membangun daerahnya dan kesejahteraan masyarakatnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Bupati dalam melaksanakan tugasnya didampingi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan jajaran di bawahnya, kepala distrik (kecamatan) dan kepala desa/kampung. Dengan luas wilayah administratif yang lebih sempit, tentu Bupati akan lebih mudah memahami budaya masyarakat setempat.

Dalam konteks kekerasan yang terjadi di Papua, maka salah satu solusi dengan menegakkan wibawa Bupati. Tentu dalam menunaikan kewajibannya, Bupati perlu dipersiapkan dan dibantu/didampingi dalam hal manajemen pemerintahan serta dalam hal pendekatan dengan lembaga adat setempat.

“Bupati sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab membangun kerukunan warganya hendaknya mempertemukan semua pihak untuk bersama-sama mencari penyelesaian,” tulisnya.

Penataan Ulang Fungsi Aparat Keamanan
Upaya lanjutan untuk menghentikan kekerasan di Papua dengan penataan ulang penempatan dan fungsi aparat keamanan secara profesional dan proporsional.

Polri adalah mitra Bupati dalam tugas membangun daerah, khususnya dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Sementara itu, TNI berposisi sebagai mitra Polri.

“Dalam tugas teritorialnya, Bhabinkamtibmas dari Polri dan Babinsa dari TNI seharusnya dapat berintegrasi dengan masyarakat dan bersinergi dalam tugas-tugas teritorial,” tulisnya.

Untuk satuan-satuan khusus, baik dari TNI, Polri, ataupun gabungan keduanya, bisa didatangkan hanya dalam keadaan khusus, misalnya kerusuhan atau gangguan berlebihan dari KKSB.

“Tugas mereka adalah melindungi Bupati dan masyarakat agar mereka dapat hidup dan menjalankan tugasnya dengan aman dan damai. Kehadiran Satgas atau pasukan khusus ini sebisa mungkin tidak menimbulkan kepanikan dan kecurigaan masyarakat yang justru akhirnya menyebabkan pengungsian,” tulisnya.

Pimpinan Gereja Katolik di Papua berharap semboyan yang sering didengungkan aparat TNI-Polri “Pendekatan dengan Hati dan Kasih” bisa menjadi nyata dalam sikap dan perilaku aparat di lapangan.

“Dalam mewujudkan semboyan ini, satuan-satuan sebelum ditugaskan di Papua perlu dibekali dengan pengetahuan tentang masyarakat setempat, budaya dan adat istiadatnya”.

“Selain itu pemantauan dan pengendalian satuan-satuan tugas ini tepatnya dilaksanakan oleh pimpinan yang ada di Papua, baik Pangdam atau Kapolda, dan tidak dikendalikan oleh atasan yang berada di luar Papua,” tulisnya.

Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
Dalam UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pasal 45 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Provinsi Papua.

Dalam konteks perlindungan HAM ini, dari tiga perangkat yang diperintahkan UU, baru satu yang terlaksana yakni membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM. Sementara, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sejauh ini belum terealisasi.

Terkait HAM ini, Pimpinan Gereja Katolik di Papua mendesak agar pemerintah mengambil langkah jelas untuk menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran HAM.

Sejumlah kasus yang sudah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat harus segera diselesaikan sebagai bukti kesungguhan penghormatan dan perlindungan HAM. Selain itu, kasus-kasus baru di daerah kerusuhan politik hendaknya tidak didiamkan tetapi diselesaikan melalui proses hukum yang adil, benar, dan transparan.

“Hal ini merupakan kewajiban asasi, bukan saja karena HAM itu menuntut penghormatan dan perlindungan dari pemerintah dan dari kita semua, tetapi karena ditelantarkan maka banyak pejuang yang memanfaatkannya untuk tujuan politik anti-Indonesia.”

Dialog Jakarta-Papua
Masalah Papua dan masalah di Papua hanya bisa diselesaikan dengan jalan dialog, bukan dengan senjata dan tindak kekerasan.

Sayangnya, dialog tak pernah dilaksanakan karena suasana saling curiga yang menghambat para pihak untuk bertemu dan berbicara. Dengan kondisi seperti ini, tentu akan sulit mencari titik temu, bahkan untuk memulai pun sulit.

Kompleksitas masalah di Papua tentu tidak memungkinkan dialog hanya dilakukan sekali bertemu lalu masing-masing menegaskan pilihannya. Dalam kasus ini tentu dialog butuh waktu yang lama yang dimulai dengan membangun relasi pribadi dan pendekatan dengan tokoh-tokoh berpengaruh untuk menyamakan persepsi mengenai mimpi Papua yang mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.

Pimpinan Gereja Katolik di Papua menyakini jika tiga poin solusi yang disampaikan sebelumnya merupakan awal dialog jika dilaksanakan dengan baik.

Ketiga poin tersebut, yakni penegakan kewenangan dan tanggung jawab Bupati sebagai kepala daerah, penempatan Polri sebagai mitra Bupati dan TNI sebagai mitra Polri, serta perlindungan HAM dan pengadilan kasus HAM.

“Kalau semua yang disebut di atas ditangani dengan baik dan konsisten, maka sebenarnya dialog damai itu sudah dimulai dan kita semua bisa bekerja dan belajar dengan tenang demi untuk Papua yang mandiri, sejahtera, dan berkeadilan,” tulisnya.