Pasific Pos.com
Opini

Refleksi Menyambut HUT GKI ke-67 di Tanah Papua, Membangun “Yang Tidak Kelihatan”

“Kita tidak perlu mengubah  masa lalu, tapi  pada momentum tertentu kita perlu merancang masa depan yang baru”

Oleh: dr. John Manangsang Wally

Sebagaimana pada lima bab sebelumnya di buku “Jalan Menuju Jayapura Emas 2030”, yang tertulis dan tertera dengan  berbagai alasan maupun gambar tentang apa, di mana, kapan, bagaimana, mengapa dan untuk apa kita ingin membangun Jayapura Emas 2030, sesungguhnya itu semua lahir dari pikiran, pengamatan dan pengalaman  pribadi saya yang sangat terbatas, bahkan bisa dianggap “hilang kontrol” karena terlalu merasa yakin bahwa semua impian indah itu, di suatu saat yang tidak terlalu lama, akan bisa terwujud bagi kemuliaan nama Tuhan dan kesejahteraan masyarakat di kabupaten Jayapura  tercinta ini.

Akan tetapi setelah saya mengikuti dengan cermat dan saksama seluruh pemaparan materi dan diskusi pada acara Konferensi II Analisis Papua Strategis di hotel Horison Sentani Kabupaten Jayapura tanggal 13 dan 14 Oktober 2023, yang mengusung thema: “Percepatan Pembangunan Menuju Papua Emas 2041 dan Indonesia Emas 2045”, secara khusus setelah  mendengar  pemaparan dan refleksi  dari Key Note Speaker Pastor Jimmy Oentoro dari WorldHarvest  yang menjelaskan tentang pentingnya  “SHALOM” dan “TEGAR”  sebagai syarat yang fundamental  bagi terwujudnya mimpi akan Papua Emas 2041 atau Jayapura Emas 2030, maka tergeraklah hati saya untuk memahami sekali lagi tentang makna kata Shalom dan Tegar itu untuk masa depan Papua yang baru, yang lebih baik, tetapi yang tidak gampang itu.

Kata “SHALOM” mengandung arti bukan sekedar ucapan selamat atau sapaan salam sejahtera bagi anda sekalian, akan tetapi sarat dengan maksud dan nilai sebagaimana terlukis pada gambar di bawah ini:

Gambar Arti Kata Shalom

 

Di samping itu, dikatakan bahwa kita harus menjadi orang-orang yang “TEGAR”,  yaitu menjadi orang yang menjadi “TERANG” dan “GARAM” dunia, bagi sesama yang  dimulai dari dalam diri pribadi kita masing-masing, untuk keluarga, untuk kampung,  untuk kelompok masyarakat  hingga dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin, baik pemimpin adat, pemimpin agama dan terutama pemimpin pemerintahan yang memegang kendali arah dan tujuan pembangunan suatu daerah, bangsa dan negara.

Dari kesadaran itulah, suara hati saya mengatakan: “Apa yang telah dibuat oleh Dominee Izaak Semuel Kijne, yaitu  meletakan “Peradaban Orang Papua” di Wasior, 25 Oktober 1925, 98 tahun lalu,  yang dalam doa sulungnya, ia berkata bahwa; sekalipun orang memiliki  kepandaian tinggi, akal budi dan marifat,  tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, kecuali bangsa ini sendiri yang dapat bangkit memimpin dirinya.”.

Sesungguhnya ini adalah dasar fondasi iman kita, sekaligus menjadi “tonggak sejarah” peradaban orang Papua. Kata sejarah mengandung arti telah terjadi di masa yang lalu, masa kemarin hingga 98 tahun lalu. Pertanyaan fundamental hari ini adalah: “Bagaimana Peradaban Orang Papua 98 tahun ke depan?”

Peletak Batu Peradaban Orang Papua, Dominee Izaak Semuel Kijne di  Wasior.

 

Sudah 168 tahun kita orang Papua mengenal Injil Yesus Kristus ( sejak 5 Februari 1855 di Mansinam), kemudia 98 tahun dari waktu peletakan batu peradaban orang Papua (25 Oktober 1925 di Wawsior), kita hidup sebagai orang Kristen di atas tanah Papua, di atas tanah Injil, di atas tanah Damai, di atas Sepotong Tanah Surga yang jatuh ke bumi dan sejumlah nama yang indah didengar tentang  Papua.

Namun dalam kenyataannya, hari ini  Orang Papua masih bergelut dalam  kesulitan yang  multi dimensi: masih sulit dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, masih banyak yang miskin, masih menangis, masih merasa tidak aman, tidak damai dan tidak sejahtera di atas tanahnya sendiri yang  kata orang bahwa Papua itu kaya raya, berlimpah emas, susu dan madu.

Pada  sisi  kehidupan lain dari peradaban Orang Papua yang dikenal sebagai orang adat yang ramah, santun, baik hati, suka menolong dan rajin ke gereja,  nyatanya sekarang  banyak mengalami perubahan. Kita tidak lagi saling mengasihi, tidak lagi saling menghormati, tidak lagi bersatu sebagai sesama orang Papua.

Kita berubah ke arah yang tidak menentu! Banyak Orang Papua di semua strata dan golongan mengalami hidup dalam ego individualistik yang tinggi, ambisi yang berlebihan, korupsi, penuh dengan iri hati, baku tipu, saling mencekal, saling menghina, bahkan saling membunuh.

Kita juga  banyak yang menjadi orang malas, apatis, miras dan narkoba,  mencuri dan merampok, seks bebas berganti-ganti pasangan,  pasangan suami istri yang telah nikah kudus di gereja terjebak dalam perselingkuhan.

Keadaan ini bila dibiarkan terus berlangsung, maka kharakter dasar, adat  istiadat serta  peradaban luhur kita akan hilang, padahal sesungguhnya kita Orang Papua itu sangat dikasihi Tuhan Sang Pencipta, dengan menempatkan kita di atas “Surga Kecil” yang diletakan di titik pusat bumi ini.

Lihat saja, hutan Papua dijuluki sebagai “Paru-Paru” dunia  penyumbang oksigen nomor tiga di planet bumi ini,  demikian juga deposit tambang emas Papua  merupakan yang terbanyak di dunia,  hal yang sama  dengan lautannya  yang menjadi tempat beribu-ribu kapal ikan dari  berbagai negara luar  datang  untuk menangkap ikan di laut Papua!

Demikian pula  dengan  orang Papua itu sendiri  yang dalam keragaman budaya, bahasa  dan alamnya, dianggap sebagai laboratorium hidup dunia, dan terpenting lagi adalah bahwa Posisi Geopolitik Papua  yang berada di Episentrum Bumi di titik nol bumi dan di Pusat Lintasan Dunia yang bila dicermati dengan baik, maka  ke depan Papua bisa menjadi salah satu penentu utama  masa depan dunia ini!

Namun sayang seribu sayang, faktanya bahwa Orang Papua tidak memiliki dan tidak  merasakan  kekayaan tanahnya itu! Dalam hal ini, kita juga tidak bisa  secara otomatis kemudian  menilai kalau fenomena paradoks ini timbul  karena perbuatan orang lain.

Kita perlu bertanya pada diri sendiri terlebih dulu:”Mungkin saja  kesalahan dan dosa  ada pada diri kita  orang Papua sendiri?  Memang kita  sering mengaku sebagai orang Kristen, namun hidupnya  bisa jadi tidak secara sungguh-sungguh sesuai ajaran Injil Yesus Kristus, sehingga Allah memperkenankan kita  hidup dalam kesulitan besar,  ibarat berjalan di dalam lorong gelap yang panjang, kata Bapak Barnabas Suebu, mantan Gubernur Papua. Mungkin sekali ditunggu sampai  kita benar-benar sadar, bertobat dan kembali ke jalan Tuhan?

Situasi kondisi orang Papua seperti yang dialami bangsa Israel. Bangsa  yang keras kepala, membangkan dan tidak setia kepada Tuhan Allahnya yang membawa mereka keluar dari perbudakan di Mesir, menuju tanah terjanji, yaitu Negeri Kanaan.

Jika saja waktu itu mereka setia dan taat pada Allahnya, maka mungkin sekali perjalanan mereka menuju Kanaan,  tidak harus samapi  40 tahun, cukup beberapa bulan saja. Namun oleh dosanya,  mereka mengembara di lautan pasir yang kering dan gersang itu selama  seribu dua ratus enam belas bulan atau empat belas ribu enam ratus hari lamanya.

Nah bagaimana dengan masa depan  Papua, masa depan kita dan anak cucu kita orang Papua, bagaimana dengan masa depan tanah, alam dan semua potensinya yang Tuhan berikan ini?

Melihat  sejarah panjang peradaban dan pembangunan di Papua serta situasi kondisi riil hari ini, saya merasa urgensinya adalah kita butuh satu “Momentum”, satu titik star sikap dan komitmen baru dari orang Papua itu sendiri, dan yang kedua adalah kita butuh “Pertolongan”

Itulah sebabnya,   salah satu upaya untuk mengantar kita pada sebuah kesadaran dan harapan baru, sikap baru, iman baru, budaya serta peradaban baru yang lebih baik dan benar,  timbul inisiatif untuk melakukan Peletakan Batu Pertama Monumen Peradaban Baru Papua  tepat di Titik Episentrum Bumi,  di pebukitan Foromoko Kampung Nendali Sentani, Kabupaten Jayapura , Provinsi Papua pada tanggal 14 Oktober 2023, sebagai sebuah  “Momentum” titik star kita memasuki “Peradaban Baru Papua!”

Komitmen Setelah Peletakan Batu Pertama Monumen Peradaban Baru Papua.

 

 

Prosesi Peletakan Batu Pertama Monumen Peradaban Baru Papua oleh Pastor Jimmy Oentoro di bukit Foromoko Netar.

 

Kebutuhan yang kedua adalah dari mana datangnya “Pertolongan?” Ke gunung-gunung kulayangkan mataku dan bertanya: “Dari manakah datangnya pertolongan? Dari Tuhan Allah Sang Pencipta langit, bumi dan seisinya. Dari Tuhan dan orang-orang yang diutus Tuhan untuk menolong kami orang Papua!”

Maka untuk menyambut datangnya “Pertolongan” itu, kita orang Papua  perlu melakukan pertobatan masal, melakukan rekonsiliasi, berdamai, bersatu hati dan saling mendoakan, saling mengasihi, saling menghormati dan saling membantu!!!.

Kita harus  bersama-sama menerima dan melakukan “SHALOM ALLAH” dan  “TEGAR” yang akan menjadi kharakter baru, iman yang diperbaharui serta  peradaban baru!  Itulah hakikat dari “MEMBANGUN YANG TIDAK KELIHATAN”, yang  menjadi fondasi  nilai dan keluhuran dalam setiap sendi kehidupan dalam  pembangunan menuju Papua Emas 2041 dan Jayapura Emas 2030.  Papua Baru sebagai negerinya orang-orang  yang membawa  damai dan berkat bagi sesama, bagi bangsa, negara serta bangsa-bangsa dunia tanpa kecuali!. Selamat Merayakan HUT ke-67 GKI di Tanah Papua.

Artikel Terkait

Lewat Moment Safari Ramadhan, Sekretariat DPR Papua Berbagi Kasih di Dua Pondok Pesantren

Jems

Kabid BPBD Ditetapkan Tersangka Kasus Korupsi Banjir Bandang, Menase: Kejaksaan Harus Usut tuntas semua yang Terlibat

Jems

Tegas, Tokoh Pemuda Kabupaten Jayapura Minta Yosep Sapan Terima Keputusan Partai

Jems

Elvira Rumkabu: Saatnya Kota Jayapura Punya Pemimpin Milenial Yang Visioner

Jems

HUT Ke-45, SMPN 2 Sentani Gelar Lomba Fashion Show Daur Ulang

Jems

Datangi TPS 040 Dobonsolo, Ketua DPRD Kabupaten Jayapura Salurkan Hak Pilih

Jems

Ini Imbauan KPID Kepada Media dan Masyarakat Papua pada Pesta Demokrasi Besok

Jems

Gelar Turnamen Catur, Ruddy Bukanaung: Ini Ajang Silaturahmi Dengan Pecatur Kabupaten Jayapura

Jems

Bangkitkan Cinta Alam Melalui Perkemahan Saka Wira Kartika

Jems