Pasific Pos.com
HeadlineSosial & Politik

Tingkatkan Kapasitas, Pimpinan dan Anggota Kembali Ikuti Bimtek

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE didampingi Wakil Ketua II DPR Papua, Edoardus Kaize, SS saat membuka dengan resmi kegiatan Bimtek di Suni Hotel & Convention Abepura, Kota Jayapura, mulai Kamis, 3 - 5 September 2021. (foto Tiara).

Jayapura – Guna meningkatkan kapasitas dewan, DPR Papua menggelar bimbingan teknik (Bimtek) untuk pimpinan dan para anggota dewan, yang
dibuka dengan resmi oleh Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE dan ditandai dengan pemukulan Tifa, yang berlangsung di Suni Hotel & Convention Abepura, Kota Jayapura, mulai Kamis, 3 – 5 September 2021

Kepada para awak media, Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE mengatakan, jika Bimtek itu dilakukan dalam rangka untuk peningkatan kapasitas bagi anggota DPR Papua.

“Peningkatan kapasitas itu, ya tentunya kita berpegang pada regulasi dan aturan – aturan yang ada. Kita dibekali agar dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kedewanan, kita berpegang pada aturan. Tapi kita perlu penguatan – penguatan agar dalam melaksanakan fungsi kedewanan, DPR Papua dalam melakukan dengan baik sehingga kinerja dewan bisa lebih baik,” kata Jhony Banua Rouw disela-sela kegiatan Bimtek.

Namun diakui, bahwa kinerja dewan tidak bisa maksimal lantaran dengan adanya regulasi – regulasi yang sangat susah untuk dilaksanakan di Papua.

Dikatakan, jika di Papua ada UU Otsus dan dana Otsus, harusnya dalam system regulasi penggunaan dan pertanggungjawaban Otsus, harus disesuaikan dengan di Papua, dan tidak mengacu seluruhnya pada regulasi yang berlaku secara nasional, karena sulit.

“Karena kenapa? Itu namanya kekhususan. Apalagi kita tahu di Papua bahwa aksesnya agak susah, banyak yang harus menggunakan pesawat, anggota tidak bisa carter pesawat, jadi tetap naik pesawat regular yang belum tentu satu minggu sekali atau sebulan 2 kali. Nah, apakah kita pergi dan langsung bisa pulang,” imbuhnya.

Belum lagi lanjut Jhony dalam kunjungan ke daerah itu, diminta ada pertanggungjawaban, padahal tidak ada hotel di daerah tersebut, ya tentu anggota dewan tinggal di rumah masyarakat sehingga menyulitkan dalam pertanggungjawaban anggarannya.

“Dan kita tahu ketika kita datang, masyarakat akan kumpul, tentu akan ada cost tambahan yang lain. Tidak mungkin kita melakukan itu, sehingga terkesan dalam melakukan pertanggungjawaban, banyak membuat kita harus membuat pertanggungjawaban yang sesuai dengan aturannya, tapi kenyataannya kita lakukan yang lain, meskipun sesungguhnya kita sudah datang dan melakukan kegiatan itu. Tapi apakah kita mau terus hidup dalam suatu kebohongan?,” tutur Jhony Banua Rouw.

“Tapi tadi pak Kepala BPK bilang, tidak bikin pertanggungjawaban salah, bikin pertanggungjawaban lebih salah lagi, jadi dilema juga,” sambungmya.

Untuk itu, Ketua DPR Papua ini meminta pemerintah pusat agar dalam system pertanggungjawaban di Papua memiliki regulasi yang berbeda dengan yang lain.

Belum lagi ungkap Jhony Banua Rouw, anggota dewan menghadapi adanya bantuan untuk biaya sekolah, biaya kuliah dan bantuan lainnya, padahal dalam kedewanan tidak ada pos yang namanya bantuan sosial.

“Nah, hal – hal ini perlu dan kita beri apresiasi kepada BPK RI yang melihat dengan jeli apa yang sesungguhnya terjadi di Papua. Tadi beliau kan menyampaikan sebaiknya ada regulasi yang berbeda, bukan mau mencari kemudahan atau keuntungan, tapi ini system pertanggungjawaban yang baik dan benar,” terangnya.

Disamping itu, legislator Papua ini juga mencontohkan jika belanja di kampung, tidak ada nota dan stempel, namun hanya diberikan catatan dari kertas saja. Akan tetapi apakah itu bisa menjadi bukti.

Oleh karena itu, ia berharap BPK juga bisa memberikan masukan kepada pemerintah pusat terkait dengan kondisi yang dihadapi DPR Papua, sehingga kinerja dewan bisa lebih maksimal melayani rakyat, tidak dibebani dengan pertanggungjawaban yang rumit.

“Contoh dalam penyerahan bantuan, dimana kita diminta harus ada staf PNS yang ikut bersama kita ketika ada kegiatan. Ya, kita senang, namun pertanyaannya apakah kita lebih banyak menghabiskan uang rakyat jika staff PNS yang ikut karena tentu juga mendapatkan SPPD,” ungkap Jhony.

“Jadi yang tadinya bisa dikerjakan oleh anggota dewan, tapi sekarang harus ada staf yang ikut. Nah, ini berarti efisiensi biaya atau pemborosan biaya, karena regulasi itu yang ada bukan efisiensi biaya, tapi justru pemborosan biaya, sebab saat penyerahan barang harus ada staf PNS yang mendokumentasikan penyerahan barang itu dalam kegiatan kami di daerah, “timpalnya (Tiara).