Pasific Pos.com
Kota Jayapura

Soroti Tindakan BBKSDA Papua, Alberth Merauje: Tindak Yang “Tidak Berhikmat” dan Mengabaikan Rasa Budaya

Jayapura,- Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua melakukan pemusnahan Mahkota dan atribut Burung Cenderawasih dari hasil sitaan dengan cara membakar, kini menjadi sorotan publik.

Tindakan tersebut dinilai sangat melukai perasaan masyarakat Papua, sebab Burung Cenderawasih merupakan simbol dan harga diri orang asli Papua.

Anggota DPR Papua yang juga sebagai tokoh adat, intelektual, gereja, pemuda, dan masyarakat Port Numbay, Dr. Ir. Alberth Merauje, A.Md.Tek., S.T., M.T., IPM mengaku prihatin atas sikap dan tindakan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua yang melakukan pemusnahan mahkota dan aksesoris Burung Cenderawasih dengan cara dibakarnya.

Sebagai tokoh adat, Alberth menilai bahwa tindakan tersebut bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga menyentuh persoalan martabat, simbol, dan harga diri orang asli Papua.

“Burung cenderawasih adalah ciptaan Tuhan, simbol dari tanah Papua yang disebut paradise of the earth. Saat Mahkota Cenderawasih dibakar, itu sama artinya dengan membakar budaya, simbol, dan hati masyarakat Papua,” tegas Alberth Merauje ketika ditemui Pasific Pos di ruang kerjanya, Rabu 22 Oktober 2025.

Menurut Politisi Partai NasDem itu, Burung Cenderawasih bukan sekadar satwa yang harus dilindungi undang-undang, tetapi burung tersebut memiliki makna religius, historis, dan simbolik Disebut sebagai “Burung dari Surga”, simbol anugerah Tuhan.

“Burung Cenderawsih menjadi lambang di berbagai institusi, seperti Kodam XVII/Cenderawasih, Universitas Cenderawasih, Teluk Cenderawasih, serta berbagai logo daerah dan budaya,” ungkapnya.

Selain itu lanjut Alberth, juga dipakai dalam upacara adat, ritual penyambutan Pejabat seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan acara acara besar atau peresmian peresmian.

“Burung Cenderawasih selalu tampil di berbagai pagelaran budaya, dan di dalam budaya itu biasa tampil ada ondoafi, ondofolo kepala suku, sehingga mereka harus menggunakanannya di berbagai kegiatan sakral lainnya,” jelas Alberth.

Karena itu, legislator Papua itu menekankan, jika tindakan pembakaran itu sebagai tindakan yang “tidak berhikmat, tidak arif, dan mengabaikan rasa budaya.

“Yang dimusnahkan itu Miras, Ganja, Makanan Kadaluarsa dan Kosmetik yang mengandung Mercury. bukan Mahkota Cenderawasih,” tekannya.

Untui itu, di dalam pernyataannya ini, Alberth Merauje menyampaikan sejumlah usul dan sikap, yakni, Hentikan Perdagangan Senjata Angin di Papua. Senjata angin menjadi alat utama pembunuhan burung Cenderawasih dan satwa endemik lainnya.

Ia juga meminta pemerintah dan aparat keamanan agar menyita seluruh senjata angin dan melarang perdagangan bebasnya melalui Peraturan Daerah (Perda).

“Burung ini dilindungi undang-undang. Tapi bagaimana mereka terus diburu kalau senjata angin dijual bebas di toko-toko? Ini harus dihentikan,” tandasnya.

Lanjutnya, Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat Adat di Kawasan Habitat, masyarakat yang hidup di sekitar habitat Cenderawasih perlu diberikan edukasi, motivasi, dan tanggung jawab menjaga satwa tersebut.

Alberth mengatakan, bahwa mereka juga dapat memakai secara terbatas untuk kebutuhan adat, bukan untuk dijual.

“Jangan hanya menyalahkan masyarakat. Pemerintah harus turun sosialisasi, awasi, dan libatkan masyarakat adat sebagai penjaga hutan, bukan sebagai pelaku.”tekannya.

Kemudian, Barang Sitaan Budaya Tidak Boleh Dibakar, Alberth mengecam tindakan pembakaran barang sitaan berupa opset atau mahkota burung cenderawasih. Menurutnya Atribut adat adalah bagian dari warisan budaya, bukan barang bukti biasa.

Dikatakan, seharusnya barang sitaan diserahkan ke museum, loka budaya, atau sanggar seni. Dicatat melalui berita acara. Dijadikan aset edukatif dan warisan generasi.

“Kepala BBKSDA Papua harus bijaksana. Kalau barang ini sakral, jangan dibakar. Simpan di museum, serahkan ke sanggar budaya, atau kelompok tari adat sebagai koleksi resmi, bukan di musnahkan,”cetusnya.

Selain itu, Alberth juga meminta Pemerintah untuk menyusun regulasi jelas mengenai penggunaan atribut cenderawasih, hanya boleh dipakai oleh pemangku adat seperti ondoafi, ondofolo, kepala suku atau dalam acara ritual yang sah.

“Barangnya harus ditata, didata, dicatat sebagai inventaris budaya dan tidak diperjualbelikan. Jika atribut sudah ada (hasil sitaan atau koleksi lama), digunakan kembali melalui mekanisme peminjaman adat, bukan dibakar,”ujarnya .

Alberth pun menegaskan bahwa pembakaran atribut sangat sakral dan bisa berujung pada sanksi hukum adat.

“Ini bukan hanya kesalahan administratif. Ini menyentuh martabat suku-suku di Papua. Dalam hukum adat, orang yang membakar simbol adat bisa dikenakan sanksi adat.”tegasnya.

Dengan demikian, Alberth Merauje mengajak BBKSDA Papua, pemerintah daerah, tokoh adat, akademisi, gereja, dan lembaga budaya untuk duduk bersama mencari solusi antara pelestarian satwa dan perlindungan budaya.

“Burung Cenderawasih harus hidup di hutan. Tapi kalau sudah jadi simbol budaya, jangan dibakar. Mari jaga satwa, tapi hormati juga identitas orang Papua.”tutup Albert. (Tiara).