Pasific Pos.com
Opini

Mission Impossible – Dead Reckoning: Fiksi Ataukah Realitas?

Film Mission: Impossible – Dead Reckoning Part One dan Part Two bukan sekadar kisah aksi penuh adrenalin dari Ethan Hunt dan tim IMF-nya. Di balik kejar-kejaran dan ledakan, tersimpan sebuah alegori kuat tentang ketakutan zaman ini: sebuah entitas kecerdasan buatan bernama “The Entity” yang mampu menyusup ke sistem-sistem vital global, termasuk potensi pengendalian sistem senjata nuklir. Fiksi tersebut tampak hiperbolik, tetapi menyentuh saraf sensitif dari percakapan dunia saat ini—tentang bagaimana kecerdasan buatan telah berkembang bukan hanya menjadi alat bantu, tetapi juga entitas yang menantang etika, kekuasaan, dan tatanan global.

Dalam film tersebut, AI bukan lagi sekadar algoritma. Ia adalah kekuatan otonom yang mampu menipu, menyamar, dan mengambil keputusan strategis yang memengaruhi keamanan global. Dunia dalam film itu terpecah menjadi negara-negara adidaya yang berlomba-lomba ingin menguasai dan menjinakkan sang entitas. Mereka tahu bahwa siapa pun yang berhasil mengendalikan AI ini akan memiliki supremasi mutlak atas dunia. Film ini menyimpan sebuah pertanyaan besar: apakah ancaman dari kecerdasan buatan (AI) yang digambarkan di sana semata fiksi, atau sesungguhnya cerminan realitas yang mulai menjelma?. Kenyataan hari ini tak jauh berbeda. Ketegangan antara negara-negara seperti India dan Pakistan, AS dan China, bahkan di wilayah-wilayah seperti Timur Tengah, tak lagi hanya dipicu oleh konflik konvensional, melainkan juga oleh dinamika siber, dominasi data, dan ancaman digital yang terus berkembang.

Dalam realitas kita, teknologi kecerdasan buatan telah merambah ke sistem pertahanan, pemantauan, dan bahkan pengambilan keputusan strategis. Pentagon, misalnya, melalui proyek Joint Artificial Intelligence Center (JAIC), telah mengeksplorasi pemanfaatan AI untuk deteksi ancaman dan respons militer cepat. China dan Rusia juga dikenal agresif dalam membangun teknologi militer berbasis AI. Namun, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan dan pemikir Yuval Noah Harari, “Ancaman terbesar bukan terletak pada AI itu sendiri, melainkan pada nilai-nilai moral dan etika yang dianut oleh para pengendali teknologi tersebut.” Pernyataan ini, meski tidak tertulis verbatim dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century, menggambarkan esensi dari argumen Harari di berbagai forum dan tulisannya.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Harari menyatakan bahwa teknologi seperti AI dapat memperkuat otoritarianisme digital. Jika digunakan tanpa kendali etika, teknologi ini dapat menjerumuskan dunia ke dalam sistem pengawasan total, menciptakan distopia tempat hak asasi manusia tak lagi relevan. Artikel lain di The Guardian juga menyoroti peringatan Harari tentang AI yang mampu membuat keputusan tanpa kontrol manusia—berbeda dengan teknologi masa lalu yang selalu membutuhkan instruksi. Kecemasan ini bukan tanpa dasar. Tahun 2023, laporan dari RAND Corporation menyebutkan bahwa penggunaan AI dalam sistem senjata otonom memiliki risiko tinggi terhadap eskalasi konflik karena AI tidak memiliki intuisi, pertimbangan moral, atau pemahaman konteks seperti manusia.

PBB dan organisasi internasional lainnya memang telah mendorong perumusan etika global untuk pengembangan AI, termasuk dalam ranah militer. Namun kenyataannya, belum ada kesepakatan internasional yang mengikat dan mampu menjamin bahwa negara-negara besar tidak akan menyalahgunakan teknologi ini. Protokol seperti Lethal Autonomous Weapons Systems (LAWS) dalam Konvensi PBB tentang Senjata Konvensional hingga kini masih dalam perdebatan panjang, tanpa hasil konkret. Di sinilah letak celah besar yang dapat dimanfaatkan oleh aktor negara maupun non-negara yang berambisi menguasai kekuatan AI untuk kepentingan politik, ekonomi, atau bahkan ideologis.

Ketegangan India dan Pakistan hari ini, misalnya, tidak lagi hanya dilandasi oleh sejarah dan ideologi, tetapi juga oleh kecemasan terhadap serangan siber, penyadapan digital, dan perang informasi yang melibatkan teknologi AI. Dalam situasi seperti ini, retorika diplomatik dan upaya perdamaian bisa dengan mudah dibajak oleh narasi algoritma, manipulasi data, dan kebohongan sistematis yang dihasilkan oleh sistem berbasis kecerdasan buatan.

Pertanyaan kritis lainnya pun muncul: apakah kita sedang bergerak menuju sebuah era baru di mana perang tidak lagi dimulai oleh tentara, tetapi oleh kode komputer dan sistem yang tak kasat mata? Apakah para pemimpin dunia benar-benar siap menghadapi potensi perang yang dikendalikan bukan oleh emosi manusia, tetapi oleh hitungan dan strategi dingin dari mesin?

Lebih dalam lagi, seharusnya kita bertanya bukan hanya soal teknologi, tetapi soal kemanusiaan. Karena pada akhirnya, senjata tidak pernah menembak sendiri—selalu ada tangan yang menekan pelatuk, dan lebih penting lagi, ada niat di baliknya. Dalam konteks ini, AI hanya akan menjadi cermin dari siapa kita sebagai manusia. Jika kita membiarkannya dikembangkan tanpa pedoman moral yang kuat, maka kita sendirilah yang sedang menciptakan bayang-bayang kehancuran kita sendiri.

Film Mission: Impossible menggambarkan skenario ekstrem, tetapi sejatinya ia memperingatkan kita semua: bahwa dunia yang kehilangan kendali atas etika dalam kemajuan teknologi, adalah dunia yang dengan mudah akan terseret dalam pusaran perang, dominasi, dan kehancuran. Kini saatnya bagi publik, pemimpin, dan komunitas global untuk tidak hanya mengagumi AI sebagai terobosan, tetapi juga mengawasinya sebagai potensi krisis moral dan keamanan terbesar abad ini.

Fiksi memang sering menjadi ruang aman untuk mengeksplorasi ketakutan dan harapan umat manusia. Tapi ketika cerita fiksi mulai terlalu dekat dengan kenyataan, saatnya kita berhenti menontonnya semata sebagai hiburan. Sebab dalam dunia nyata, misi menyelamatkan dunia bukan lagi hanya milik Ethan Hunt. Tapi tugas kita semua.

 

Oleh : Muhammad Firdaus Abduh

situs togel

kampungbet

Leave a Comment