Jayapura, – Sebanyak 80 orang guru dari Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, mengikuti program Training As Healing sebagai bagian dari upaya pemulihan pascabencana aksi kekerasan yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pada Maret 2025 lalu.
Kegiatan yang berlangsung selama empat hari di Aula Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Papua, Kota Jayapura, terselenggara atas kerjasama Direktorat Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Kemendikdasmen dengan Korps Relawan Bencana Himpunan Psikologi Indonesia (KRESNA HIMPSI).
Pelatihan ini dibuka secara resmi oleh Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kemenko PMK, Ojat Darojat, dan dihadiri sejumlah pejabat kementerian di antaranya Jazziray Hartoyo (Asdep PAUD dan Dasar Kemenko PMK), Saryadi (Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus, Kemendikbudristek), serta Anrilia E.M. Nidyah, Ph.D., Psikolog, selaku Ketua Umum KRESNA HIMPSI sekaligus Ketua IV PP HIMPSI.
Kepala Balai Guru dan Tenaga Kependidikan (BGTP) Provinsi Papua, Fatkurohmah, S.Pd., M.Pd., menyampaikan apresiasi terhadap dedikasi guru-guru Yahukimo yang tetap setia melayani pendidikan di tengah situasi sulit.
“Walaupun Bapak-Ibu guru berada di daerah yang sangat terisolir, namun tetap menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Kami bangga, karena dalam situasi genting pun mereka tetap hadir bagi murid-muridnya,” ujar Fatkurohmah.
Ia berharap pelatihan ini dapat menjadi ruang aman bagi para guru untuk memproses pengalaman traumatis dan menemukan kembali kekuatan diri guna melanjutkan tugas pendidikan.
Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Kemendikbudristek, Saryadi, menjelaskan bahwa program ini bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan sebagai proses pemulihan menyeluruh melibatkan aspek emosional, mental, dan sosial para guru.
“Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan dukungan psikososial, membekali guru dengan teknik self healing, serta membangkitkan kembali motivasi mereka pasca tragedi,” jelas Saryadi.
Pelatihan dirancang dalam bentuk partisipatif, terdiri dari sesi individu, latihan teknik relaksasi dan pernapasan, terapi kelompok (group healing), hingga refleksi dan berbagi pengalaman.
Deputi Kemenko PMK, Ojat Darojat dalam arahannya, menegaskan bahwa profesi guru mengandung risiko dan membutuhkan keteguhan mental dalam menjalankan tugas negara, terlebih di wilayah rawan konflik seperti Yahukimo.
“Kita tidak bisa memilih di mana kita ditempatkan, tapi kita bisa memilih untuk tetap mengabdi dengan semangat. Pelatihan ini penting agar para guru dapat mengelola trauma dan tetap menjadi pendidik tangguh yang membentuk masa depan Papua,” ungkap Ojat.
Psikolog HIMPSI, Anrilia E.M. Nidyah, Ph.D., menyampaikan bahwa pelatihan ini merupakan tahap awal dari pemetaan kondisi psikologis guru di Yahukimo.
Oleh karenanya perlu dilakukan intervensi psikologis dalam bentuk kegiatan Training as healing. Kegiatan ini merupakan bentuk dukungan psikososial yang bertujuan membantu pemulihan kondisi psikologis para tenaga pendidik.
Ia menegaskan bahwa pemulihan trauma harus ditindaklanjuti secara berjenjang, dengan dukungan komunitas dan struktur pendampingan yang jelas.
“Kami ingin para guru bisa menolong diri sendiri terlebih dahulu, lalu menjadi agen pemulih bagi rekan-rekan seprofesi. Tidak semua orang tahu cara mengelola trauma, maka program ini menjadi pondasi penting,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pelatihan ini akan ditutup dengan sesi khusus layanan psikologis lebih mendalam, yang akan disesuaikan dengan kondisi masing-masing peserta.
Di akhir kegiatan, para peserta diharapkan tidak hanya pulih secara psikologis, tetapi juga termotivasi kembali untuk mendidik anak-anak Papua di daerah pedalaman dengan semangat baru. Ia berharap agar pelatihan ini menjadi tonggak awal pemulihan dan penguatan pendidikan di wilayah Papua Pegunungan, khususnya di Kabupaten Yahukimo.