Pasific Pos.com
Ekonomi & BisnisHeadline

Yuk, Berantas Investasi Bodong dan Fintech Ilegal di Papua dan Papua Barat

Ilustrasi investasi.

Jayapura – Malang betul nasib yang menimpa Obed, dana pensiun yang tadinya cukup untuk memulai usaha kecil-kecilan di masa tuanya, kini raib tak berbekas setelah tergiur oknum pelaku investasi bodong.

Obed masih mengingat bahwa ia dijanjikan pengembalian yang tidak sedikit, berkali-kali lipat dibandingkan bunga deposito pada bank dekat rumahnya. Ia juga diyakinkan kalau investasi ini bebas risiko. Belum lagi jika berhasil menggaet anggota baru, Obed bisa mendapatkan bonus yang jauh lebih besar lagi. Kini, Obed hanya bisa meratapi nasib, niat untung malah berakhir buntung.

Beda lagi dengan Acel, yang menjadi korban pinjaman online (pinjol) ilegal. Dua bulan yang lalu, ia tergiur untuk meminjam pada aplikasi financial technology (fintech) abal-abal yang ditemuinya di media sosial. Mudah, murah dan tanpa risiko, katanya. Setelah mengunduh, Acel memperkenankan aplikasi untuk mengakses segala isi ponselnya: kontak, pesan, kamera dan akses lainnya.

Petaka tiba ketika pinjaman jatuh tempo, pengembalian pinjaman mencapai dua kali lipat dari pokok pinjaman. Acel kewalahan, ia tidak siap dengan dana yang diminta. Minggu berikutnya, pesan-pesan yang tidak mengenakkan mulai menghampiri, mulai dari cacian hingga ancaman. Belum lagi, keluarga besar dan teman-teman kantor mulai mengeluhkan mendapatkan teror yang sama.

Kisah Obed dan Acel adalah contoh kasus yang menunjukkan bahwa tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban investasi bodong dan juga fintech ilegal.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Papua dan Papua Barat, Adolf Fictor Tunggul Simanjuntak, mengungkapkan bahwa ada 3 alasan mengapa kegiatan investasi bodong dan fintech ilegal masih marak di Papua dan Papua Barat.

Pertama, literasi dan inklusi keuangan yang masih rendah. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan pada tahun 2019, Papua dan Papua Barat termasuk dalam provinsi dengan indeks literasi dan inklusi keuangan di bawah indeks nasional.

Tercatat, tingkat pemahaman keuangan atau indeks literasi secara nasional adalah 38,03 persen, sedangkan Papua dan Papua Barat berturut-turut sebesar 29,13 persen dan 28,87 persen.

Sementara itu, tingkat penggunaan atau akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan (indeks inklusi) secara nasional sebesar 76,19 persen, sedangkan Papua dan Papua Barat berturut-turut sebesar 60,89 persen dan 59,84 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Papua dan Papua Barat belum begitu memahami tentang produk-produk dan layanan jasa keuangan baik pada sektor perbankan, pasar modal maupun pada industri keuangan non bank.

Kedua, lanjut Adolf, oknum menangkap adanya peluang. Selain semakin majunya teknologi, adanya pemintaan yang besar dari masyarakat (baik untuk investasi maupun meminjam secara mudah dan cepat) memunculkan adanya peluang untuk penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Demi meraup keuntungan besar, oknum mengelabui masyarakat melalui tawaran investasi atau financial technology (fintech) ilegal. Meskipun OJK melalui Satuan Tugas Waspada Investasi telah menutup ribuan praktik investasi maupun fintech illegal.

Namun mereka kerap kali bermunculan silih berganti dengan modus mereplikasi situs/website investasi dan fintech ilegal menggunakan tampilan (interface) baru sehingga dapat mengelabui masyarakat.

Alasan ketiga adalah perilaku masyarakat yang kurang bijak dalam berinvestasi dan kurang berhati-hati dalam meminjam.

“OJK melihat adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang kurang bijak dalam berinventasi dan cenderung mudah tergiur dengan iming-iming imbal hasil yang tinggi. Kemudian, bagi kelompok masyarakat yang mencari sumber pembiayaan atau sebagai peminjam, juga berperilaku kurang hati-hati tanpa berpikir panjang sehingga terjerat fintech ilegal dengan biaya/bunga di luar batas kewajaran dan kemampuan,” ucap Adolf, Selasa (20/4/2021).

OJK mengingatkan kepada masyarakat sebelum berinvestasi agar senantiasa menerapkan 2L (Legal dan Logis). Legal atau selalu pastikan bahwa pihak yang menawarkan investasi telah memiliki izin dari otoritas yang berwenang dan pastikan bahwa produk dan layanan yang ditawarkan juga memiliki izin.

“Logis atau pastikan benefit dari produk atau layanan yang ditawarkan masuk akal dan tidak terdapat indikasi penipuan,” ucapnya.

Adolf juga menegaskan bahwa OJK telah menyediakan beberapa kanal layanan konsumen untuk memastikan legalitas lembaga investasi ataupun fintech melalui beberapa akses: melalui telepon kontak 157, layanan whatsapp pada nomor 081 157 157 157, surat elektronik di konsumen@ojk.go.id atau melalui situs www.kontak157.ojk.go.id. (zul/red)