Headline

Nyawa Ibu di Papua: Ketika Sistem Lebih Sakit daripada Pasien

Jayapura,- Papua kembali berduka. Dalam beberapa minggu terakhir, sebuah kabar memilukan menghentak dunia kesehatan,  seorang ibu dan bayinya meninggal sebelum sempat ditolong.

Bukan karena ketiadaan rumah sakit. Bukan karena tidak ada dokter atau bidan. Tetapi karena sistem yang seharusnya menyelamatkan, justru runtuh lebih dulu.

Kisah ini sederhana, tetapi menyesakkan. Seorang ibu datang dalam kondisi gawat. Waktu emas hanya tersisa hitungan menit. Namun rumah sakit pertama tidak siap. Rumah sakit kedua penuh. Rumah sakit ketiga tersendat administrasi. Rumah sakit berikutnya semua sudah terlambat. Dalam dunia medis, menit adalah batas antara hidup dan mati, dan kali ini batas itu dilampaui.

“Tragedi jarang lahir dari satu titik,” ungkap dr. Silwanus Sumule. “Ia adalah rangkaian kekurangan kecil yang dibiarkan menumpuk bertahun-tahun. Hingga akhirnya meledak dalam bentuk kehilangan nyawa.”

Sering kali publik mencari satu pihak untuk disalahkan. Namun, menurut Sumule, persoalan ini jauh lebih kompleks. Dokter hanya satu bagian kecil dalam ekosistem besar pelayanan rumah sakit. Bahkan dokter terbaik pun tidak akan dapat menyelamatkan nyawa jika:
• kamar bersalin penuh,
• dokter anestesi tidak ada,
• ambulans tidak siap,
• obat dan alat kesehatan terbatas,
• sistem rujukan macet,
• insentif tenaga kesehatan tersendat sehingga shift kosong.

“Menyalakan lampu senter di ruangan yang atapnya roboh tidak mengubah apa pun. Yang roboh itu sistemnya,” ujarnya.

Banyak rumah sakit di Papua, terutama di kabupaten beroperasi dengan keuangan yang sangat terbatas. Pendapatan kecil, klaim BPJS terlambat cair, biaya operasional mahal karena geografis, dan insentif tenaga kesehatan tidak dibayar tepat waktu.

Tidak mengherankan jika dokter jaga sering hanya satu orang. Kamar kelas III penuh dalam hitungan cepat. Ambulans tidak selalu siap. Peralatan tidak memadai. Semua berjalan seperti mobil tua yang dipaksa mendaki tanjakan terjal. Bisa bergerak, tetapi sewaktu-waktu mesin panas dan berhenti. Dan ketika yang sedang “menanjak” itu adalah nyawa pasien, mesin yang berhenti berarti tragedi.

Ketika tragedi terjadi, seruan mengganti direktur rumah sakit sering terdengar lantang. Namun Sumule menegaskan, “Mengganti direktur tanpa memperbaiki sistem seperti mengganti sopir sementara rem mobilnya blong.”

Perubahan orang tidak akan memperbaiki kerusakan struktural yang lebih dalam.

Menurut Sumule, ada tiga pekerjaan penting yang harus dikejar jika Papua ingin menghentikan siklus kehilangan nyawa ibu dan bayi:
• Membuat sistem rujukan secepat jalan tol.
Rumah sakit harus dapat melihat kapasitas tempat tidur rumah sakit lain secara real-time. Ambulans harus siap setiap saat. Administrasi harus menyingkir ketika nyawa menjadi pertaruhan.
• Kesiapsiagaan obstetri 24 jam.
Kelahiran tidak mengikuti jam kantor. Dokter kandungan, bidan, perawat, dan dokter anestesi harus tersedia kapan pun. Tidak boleh hanya bergantung pada satu orang.
• Membenahi keuangan rumah sakit.
Harus ada dana talangan untuk pasien gawat darurat. Fleksibilitas BLUD harus diperkuat agar insentif tenaga kesehatan dibayar tepat waktu. “Selama rumah sakit miskin, layanannya tidak akan pernah kaya,” tegasnya.

Sumule juga menegaskan satu hal yang paling krusial, jangan korupsi uang rumah sakit. Korupsi berarti memotong obat, mengurangi alat, menunda gaji tenaga kesehatan, memperlambat ambulans, dan akhirnya menghilangkan kesempatan hidup seseorang. “Uang rumah sakit adalah uang untuk nyawa.”

Di balik semua kekurangan, tenaga kesehatan sering menjadi pihak pertama yang berjuang dalam keterbatasan. Perawat yang meminjamkan telepon pribadi kepada keluarga pasien. Dokter yang menempuh perjalanan jauh untuk satu panggilan darurat.
“Bayangkan apa yang bisa mereka lakukan jika sistemnya kuat,” kata Sumule.

Papua adalah tanah penuh harapan. Tidak pantas jika harapan itu terhenti di pintu rumah sakit. Kematian seorang ibu bukan sekadar angka statistik, itu adalah cermin paling jelas bahwa negara gagal menjaga warganya.

Namun kabar baiknya: semua ini bisa diperbaiki. Sistem bisa dibangun kembali. Rumah sakit bisa diperkuat. Rujukan bisa dipercepat. Tenaga kesehatan bisa didukung penuh. Keuangan bisa diperbaiki. Dan prioritas bisa digeser.

“Yang dipertaruhkan adalah hidup manusia. Dan hidup manusia tidak boleh kalah oleh prosedur atau sistem yang kehabisan tenaga. Nyawa ibu tidak boleh menunggu. Perubahan harus dimulai sekarang. Bukan besok. Bukan nanti. Sekarang!”

Oleh: Silwanus Sumule, Dokter Kandungan – Argapura, Jayapura

Related posts

Polisi Evakuasi Korban Tenggelam di Perairan Kampung Enggros

Fani

Bongkar Barang di Pelabuhan Jayapura Masih Didominasi Bahan Pokok dan Bangunan

Fani

Piring Gantung Bergambar JOEL Simbol Dukungan Relawan Karang Panas KM 5

Fani

Presiden Prabowo Dorong Akselerasi Pembangunan Papua Melalui Sinergi Pemerintah Daerah dan Komite Eksekutif

Bams

Dua Anggota KKB Berhasil Dilumpuhkan Oleh Satgas Damai Cartens

Jems

Masyarakat Ucapkan Terima Kasih Aparat Gabungan Bangun Kembali Pasar Kiwirok

Fani

Leave a Comment