Pasific Pos.com
HeadlineSosial & Politik

Ketua Poksus DPR Papua Pertanyakan Progres Perda di Depdagri

Ketua Poksus DPR Papua, Jhon NR Gobai bersama Sekwan DPR Papua, Dr. Juliana J. Waromi, SE. M, Si saat memperlihatkan dokumen Perda yang sudah ditetapkan di DPRP tahun 2018 - 2019, kepada Kasubdit IV PHD Ditotda Depdagri, Sukoco. (Foto : Tiara)

Jayapura – Ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPR Papua, Jhon NR Gobai sebagai pengusul sejumlah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) dan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) mempertanyakan progress perda yang kini sudah ada di Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Republik Indonesia.

Bahkan, Jhon Gobai mengungkapkan, jika pada 18 Maret 2022, dirinya sebagai pengusul sejumlah raperdasi – raperdasus datang ke Depdagri untuk bertemu langsung Kasubdit Produk Hukum Daerah Wilayah Papua dan Papua Barat, Direktorat PHD Ditjen Otda Depdagri, Dr. Sukoco, guna mempertanyakan progress dari draft – draft yang sudah disetujui pada tahun 2018 dan 2019, lalu.

Dikatakan, draf raperdasi – raperdasus yang telah disetujui itu, diantaranya Raperdasi tentang Perlindungan Keberpihakan dan Pemberdayaan Buruh Orang Asli Papua, Raperdasi tentang Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Papua, Raperdasi tentang Pertambangan Rakyat di Provinsi Papua, Raperdasi tentang Perlindungan dan Pengembangan Pangan Lokal dan Pedagang Asli Papua.

“Kemudian Raperdasi tentang Perlindungan dan Pengembangan Nelayan Masyarakat Adat Papua dan Raperdasus tentang Masyarakat Adat di Provinsi Papua,” kata Jhon Gobai dalam pesan singkatnya kepada Pasific Pos, Minggu, 20 Maret 2022.

Oleh karena itu, sebagai pengusul raperdasi -raperdasus, Anggota DPR Papua dari jalur pengangkatan wilayah Meepago ini tetap mempertanyakan progress dari perda tersebut, lantaran pembahasannya juga telah menggunakan APBD dan yang lebih dari itu adalah regulasi – regulasi itu, disusun sesuai dengan aspirasi masyarakat dan merupakan regulasi Proteksi, Keberpihakan dan Pemberdayaan bagi Orang Asli Papua yakni Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Namun Jhom Gobai mengakui jika dari pertemuan dengan Depdagri itu, ia telah mendapatkan sejumlah hasil fasilitasi Depdagri terhadap sejumlah regulasi tersebut.

“Kini tinggal Bapemperda DPR Papua menyempurnakan sesuai dengan hasil fasilitasi, kemudian Pemprov Papua mengajukan permohonan nomor registrasi ke Depdagri,” ujar Gobai.

Kemudian lanjut Gobai, setelah diberi penomoran oleh Biro Hukum Setda Papua lalu ditandatangani Gubernur Papua dan diberlakukan di Provinsi Papua.

Padahal ungkap Jhon Gobai, pada tahun 2018 dan 2019, DPR Papua telah mengajukan, untuk membahas bersama dan menetapkan raperdasi dan raperdasus.

“Jadi, perlu kami sampaikan bahwa ada perda yang sudah disetujui dan ada juga yang dalam paripurna diajukan ke Jakarta serta ada juga yang dimasukan dalam Propemperda 2020,” ungkapnya.

Selain itu kata kata Gobai, draft raperdasi – raperdasus yang sudah disetujui pada tahun 2018 dan 2019 diantaranya Raperdasi tentang Perlindungan Keberpihakan dan Pemberdayaan Buruh Orang Asli Papua, Raperdasi tentang Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Papua, Raperdasi tentang Pertambangan Rakyat di Provinsi Papua.

“Juga Raperdasi tentang Perlindungan dan Pengembangan Pangan Lokal dan Pedagang asli Papua, Raperdasi tentang Perlindungan dan Pengembangan Nelayan Masyarakat Adat Papua dan Raperdasus tentang Masyarakat Adat di Provinsi Papua,” jelasnya.

Apalagi dalam Sidang Paripurna pada tahun 2019, kata Jhon Gobai, disepakati DPR Papua dan Pemprov Papua akan mendorong Raperdasus tentang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR serta Raperdasus Penyelesaian Pelanggaran HAM diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres) dan akan diajukan ke Jakarta dan didorong lewat Perpres.

Menurut Gobai, hal itu sesuai jawaban Pemprov Papua saat penutupan paripurna Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Papua tahun anggaran 2018, pembentukan KKR dan penyelesaian pelanggaran HAM mesti didorong lewat Perpres agar akar masalah di Papua, yakni distorsi sejarah dan pelanggaran HAM dapat diselesaikan.

“Jadi kami mengikuti Pemerintah meminta UNCEN membuat kajian lagi setelah kami bahas dan tetapkan dalam sidang paripurna DPR Papua, sehingga pada kesempatan ini kami pun meminta agar segera ditindaklanjuti ke Pemerintah Pusat sesuai dengan Pasal 46 UU No 21 tahun 2001,” pungkasnya. (Tiara)