Pasific Pos.com
Opini

TANAH DAMAI DI BUMI CENDERAWASIH

September 2019 menjadi salah satu tonggak baru di Papua. Saat itu, diselenggarakan kesepakatan deklarasi Papua Tanah Damai yang ditandatangani di Jayapura. Deklarasi yang ditandatangani tokoh masyarakat, agama, dan pemuda itu diakhiri dengan tanda tangan Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf Rodja, Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Yoshua Sembiring dan Gubernur Papua Lukas Enembe.

Pembacaan deklarasi disampaikan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib yang diikuti seluruh hadirin dengan bergandeng tangan. Isinya antara lain menjaga kesatuan dan persatuan di Tanah Papua; hidup berdampingan rukun, damai dengan penuh kasih sayang; dan sepakat tidak terpengaruh isu-isu yang tidak benar.

Tak salah menempatkan Papua sebagai tempat yang damai. Kemajemukan masyarakatnya, dengan beragam suku, budaya, dan agama, tetap terjalin dari dulu hingga saat ini.

Di Kabupaten Fakfak, Papua Barat misalnya terdapat masjid bernama Masjid Patimburak. Harmonisasi keberagaman terpampang jelas lewat arsitekturnya. Dibangun oleh Raja Pertuanan Wertuar pada 1870, bangunan masjid ini terdapat perpaduan bentuk masjid dan gereja. Konon kabarnya, Raja Pertuanan Wertuar sangat menghormati agama di daerah itu yakni Islam, Kristen Protestan, dan Katolik. Ketiga agama inilah yang membangun masjid secara gotong-royong.

Wujud lain kedamaian di Papua adalah sikap saling menerima suku dan budaya lain. Dalam hal ini terdapat proses asimiliasi yang terjadi di masyarakat Papua. Mamat Alkatiri, komika asli Papua dalam podcast “Papua adalah Kita,” menceritakan soal marga Alkatiri yang berasal dari keturunan Arab yang tinggal di pulau paling ujung timur Indonesia itu. Cerita lengkapnya bisa disimak melalui link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=jPFzw5dp1vg

Penerimaan akan budaya lain juga terjadi di Serui. Di sana dikenal istilah “PERANCIS”, yakni Peranakan Cina Serui. Ya.. di sana banyak warga keturunan Cina yang sudah membaur. Keluarga Besar Toroa merupakan sebuah keluarga generasi “perancis” terbanyak di Kota Serui. Bermarga Tan, keluarga ini mencapai 500 KK yang tersebar di Serui, Biak, Jayapura, Yobi, Sorong dan Raja Ampat. Salah satu tokohnya yang kita kenal adalah Yorrys Raweyai, yang saat ini menjabat pimpinan DPD RI.

Masyarakat Papua juga mau terbuka dan menerima perkembangan zaman. Mereka pada akhirnya bisa beradaptasi dengan tradisinya. Suku Kokoda dan Fakfak, misalnya biasa menggunakan pakaian tradisionalnya untuk kegiatan sehari-sehari. Penggunaan pakaian adat itu kemudian mengalami proses akulturasi tradisi dan norma kesopanan. Sehingga kedua suku itu tidak lagi menggunakan pakaian tersebut untuk keseharian mereka. Pakaian adat kemudian hanya digunakan untuk kegiatan atau ritual tertentu, itu pun ditambah dengan penggunaan baju dan celana guna menutupi anggota tubuh.

Dalam kegiatan bermasyarakat, interaksi sosial yang baik, tercermin dalam kehidupan sehari-hari di Papua. Sifat ini bahkan sudah berlangsung secara turun-temurun dan diajarkan dari generasi ke generasi. Hal itu dapat dilihat dari sikap patuh terhadap orang tua dan pemimpin adat serta agama. Sikap terhadap orang lain pun juga tak luput diajarkan. Misalnya menghormati mereka yang lebih tua lewat sapaan. Bapa atau tete untuk memanggil pria yang lebih tua, mama atau nene untuk menyapa perempuan yang lebih tua, serta pace-mace untuk memanggil pria/wanita yang sederajat.

Itulah sedikit penggambaran kedamaian yang tercipta di bumi Cenderawasih ini. Toleransi, menerima perbedaan budaya dan saling menghormati, sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari di sana. Kehidupan yang menyatu dengan perbedaan merupakan ciri khas Bangsa Indonesia yang terekat dalam satu bingkai NKRI yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tentunya kedamaian dalam NKRI yang telah terjalin baik ini, harus selalu dijaga dan dilestarikan pada generasi-generasi selanjutnya. ***