Jayapura,- Pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam waktu dekat, bakal segera meluncurkan buku cerita rakyat Port Numbay Jilid II tahun 2025, yang berisi 30 cerita rakyat dengan menggunakan tiga bahasa daerah dan penulisnya juga berasal dari Port Numbay.
Persiapan sosialisasi Buku Cerita Rakyat Port Numbay Jilid II Tahun 2025 itu digelar bersama para penulis, narasumber, akademisi, Balai Bahasa, serta tim penyangga dari dinas terkait.
Kepala Bidang (Kabid) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, Grace Linda Yoku di Hotel Suni Abepura, Kota Jayapura, Senin, 27 Oktober 2025 mengatakan, kegiatan ini merupakan bagian dari upaya pelestarian bahasa dan budaya lokal yang saat ini semakin tergerus perkembangan zaman.
“Jadi, rapat hari ini untuk mempersiapkan tim sekaligus menunjukkan kepada para narasumber isi buku yang sudah diedit. Namun kami ingin memastikan penulisan cerita rakyat dan bahasa daerahnya sesuai seperti yang mereka sampaikan, karena buku ini menggunakan dua bahasa: Indonesia dan bahasa daerah,”ujar Grace Yoku.
Terkait dengan hal itu, Grace Yoku menjelaskan, bahwa pada jilid pertama (I) terdapat 19 cerita rakyat, sementara pada Jilid II ini bertambah menjadi 30 cerita.
Lanjut dikatakan, cerita-cerita ini ditulis dalam Bahasa Indonesia dan diterjemahkan ke dalam tiga bahasa daerah, yakni Bahasa Tobati–Enggros, Bahasa Nafri dan Bahasa Sentani.
Untuk itu, kata Grace, para penulis dan narasumber diundang untuk melihat kembali hasil akhir buku, mencocokkan isi, alur cerita, serta kesesuaian bahasa daerah dan terjemahannya.
“Ini bahasa mereka. Jadi kami panggil mereka untuk baca ulang apakah cerita dan bahasanya sudah sesuai. Jangan sampai makna budaya berubah,” terangnya.
Namun Grace Yoku memastikan, setelah proses finalisasi, buku ini akan dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah Kota Jayapura.
Dengan demikian ujar Grace Yoku, sekolah -sekolah nanti akan diajarkan bahasa daerah sesuai wilayah adat tempat mereka berada, di antaranya: Kampung Nafri → wajib Bahasa Nafri, Muara Tami → Bahasa Skouw, Kayu Batu dan Kayu Pulau (Jayapura Utara) → Bahasa setempat, Kotaraja → Bahasa Tobati–Enggros serta Waena dan Padang Bulan → Bahasa Sentani.
“Kami ingin anak-anak di tanah adatnya masing-masing belajar bahasa ibu mereka. Ini bagian dari pelestarian bahasa Port Numbay yang sekarang sudah sangat rentan punah,”tandasnya.
Sekedar diketahui, dalam tahap sosialisasi nantinya akan melibatkan sekitar 100 peserta, termasuk guru, kepala sekolah, dan pegiat kebudayaan.
Program penerbitan buku ini juga merupakan bagian dari tiga agenda kebudayaan Pelestarian bahasa dan budaya lokal, Revitalisasi bahasa ibu dan Pendokumentasian cerita rakyat Port Numbay
Diakhir wawancara, Grace Yoku menegaskan, bahwa buku ini bukan hanya arsip budaya, tetapi juga jembatan pengetahuan untuk generasi muda.
“Kalau misalnya narasumber meninggal dan cerita tidak didokumentasikan, maka hilang sudah. Buku ini adalah cara kita menjaga warisan leluhur untuk generasi berikutnya,” tekannya.
Sementara itu, Salah satu penulis buku sekaligus anggota DPR Papua dari Fraksi NasDem, Dr. Ir. Alberth Merauje, menyampaikan apresiasi atas langkah Pemkot Jayapura.
Bahkan, dalam buku Cerita Rakyat Port Numbay Jilid II ini, legislator Papua itu pun menulis 3 hingga 4 cerita, berdasarkan kisah leluhur dari Kampung Tobati–Enggros.
“Sejak kecil kami dengar cerita dari orang tua dan leluhur. Saya teruskan ke anak-anak saya, lalu sekarang kami tulis supaya tidak hilang. Bahasa dan cerita ini adalah jati diri kami orang Port Numbay,” ungkap Alberth Merauje.
Menurutnya, jika hal tersebut tidak di dokumentasikan dalam bentuk tulisan, maka cerita rakyat dan bahasa lokal bisa hilang bersama dengan meninggalnya para penutur aslinya.
Oleh karena itu, sebagai wakil rakyat, Alberth Merauje mendorong lahirnya regulasi dan peraturan daerah tentang pelestarian Kebudayaan dan bahasa di 8 kabupaten dan 1 Kota di Papua.
Ia menilai, penerbitan Buku Cerita Rakyat Port Numbay Jilid II ini menjadi bukti bahwa pelestarian budaya tidak hanya melalui upacara adat dan tarian, tetapi juga melalui penulisan, pendidikan, dan kurikulum sekolah.
“Harapannya, anak-anak Kota Jayapura tidak hanya tahu cerita rakyat dari luar Papua, tetapi juga memahami akar budaya dan bahasa mereka sendiri,” tutup Alberth Merauje. (Tiara).
