Jayapura,- Tokoh adat Wilayah Port Numbay yang juga sebagai anggota DPR Papua, Dr. Ir. Alberth Merauje, A.Md.Tek., S.T., M.T., IPM menilai pentingnya pelestarian tradisi adat “Bayar Kepala”, sebuah kearifan lokal yang dilakukan masyarakat kampung di sekitar Teluk Youtefa, termasuk Kampung Enggros, Tobati, Nafri, Yoka, Kayu Batu, Skouw, dan Waena.
Menurut legislator Papua itu, jika tradisi ini dilakukan ketika seseorang meninggal dunia dan telah melewati masa 40 hari. Sehingga pihak keluarga almarhum akan menyelenggarakan acara adat dengan membuka meja (dalam bahasa lokal disebut Hburwi atau bayar kepala) dan mengundang sanak saudara serta kerabat untuk memberikan sumbangan berupa uang, barang, makanan hidup maupun makanan mati (makanan siap saji).
Yang mana sumbangan tersebut, lanjut Alberth Merauje, diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan, terutama kepada ibu dari almarhum, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas peran ibu yang telah melahirkan.
“Istilah ‘bayar kepala’ ini sebenarnya adalah simbol penghormatan kepada ibu yang melahirkan. Kita tetap harus menghargai yang melahirkan, walaupun yang meninggal adalah anaknya,” ujar dr. Alberth Merauje kepada sejumlah wartawan saat menghadiri acara adat Hburwi di Kompleks Stikom Tanah Hitam distrik Abepura dan acara perkumpulan harta maskawin di Kampung Nafri, Sabttu, 12 September 2025, sore.
Bahkan tandas Alberth, dalam tradisi tersebut, nilai-nilai sosial dan gotong royong sangat kental. Misalnya, jika seseorang menyumbang uang atau barang, maka keluarga akan membalas lebih dari yang diberikan sebagai bentuk penghargaan.
“Jadi kalau seseorang kasih sumbangan 500 ribu, keluarga akan kembalikan lebih, bisa 600 ribu. Atau kalau bawa beras senilai 300 ribu, bisa dikembalikan 350 atau 400 ribu. Ini bukan soal untung rugi, tapi nilai sosialnya yang mencerminkan semangat salng bantu dan saling menghargai,”tekannya.
Namun a pun akui sebagai okoh adat dan juga sebagai wakil rakyat, Alberth Merauje berkomitmen untuk memperjuangkan pelestarian nilai-nilai adat ini dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), baik di tingkat kota maupun provinsi.
“Kita akan proteksi budaya ini lewat Perda. Karena ini adalah warisan leluhur yang mulai tergerus zaman. Anak-anak sekarang banyak yang tidak menghargai lagi. Kita harus jaga, karena adat adalah wakil Tuhan pertama di dunia, sebelum ada gereja dan pemerintah,” tegas Alberth Merauje.
Selain tradisi Hburwi, kata Alberth Merauje, tapi juga ada tradisi adat di Kampung Nafri yang kampung asal ibunya — yang memiliki praktik berbeda, seperti membayar “emas kawin” setelah proses minang (lamaran).
Tak hanya itu, Proses perkawinan di sana melalui tahapan-tahapan adat yang terstruktur, termasuk pembayaran mas kawin yang telah dijadwalkan berdasarkan marga.
“Di Nafri, mas kawin itu penting. Setelah prosesi Minang, baru ditentukan waktu pembayaran emas kawin, dan selanjutnya masuk tahap pemberkatan nikah,”jelasnya.
Alberth Merauje menambahkan, jika pentingnya regenerasi dalam menjaga adat istiadat. Untuk itu, ia mengajak seluruh masyarakat Port Numbay untuk tidak melupakan akar budayanya. (Tiara)