Pasific Pos.com
Headline

Sebuah Catatan dari ‘Kongres’ PWI yang Belum bisa Disebut Kongres

Abdul Munib

Esai: Abdul Munib

Kegiatan yang memilih ketua PWI di Cikarang tanggal 29 Agustus 2025, yang menamakan diri Kongres Persatuan PWI, tidak memiliki landasan konstitusi di PDP/PRT organisasi maupun legitimasi kemufakatan floor pemilik suara dari seluruh provinsi sebagai forum justifikasi tertinggi dalam organisasi.

Hal itu dipicu oleh kesembronoan pimpinan sidang Zulkifli Gani Oto, yang tidak melempar usulan dari tiga peserta dari PWI Jatim (Joko Tetuko). dari Sumatera Barat, dan peserta dari Papua (Abdul Munib) ke floor. Secara substansi ketigamya ingin membahas keabsahan dari eksistensi kongres kali ini.

Dimana peluangnya tersisa hanya di ruang waktu quorum yang momentumnya sangat terbatas. Kalau sudah bubar sulit kembali dikumpulkan. Butuh sebar proposal lagi. Merengek ke Komdigi lagi. Momentum quorum yang begitu mahal untuk ukuran PWI hari ini, hilang dan berlalu begitu saja.

Quorum seharusnya diajak mufakat (konsensus bersama) menetapkan forum Cikarang sebagai kongres PWI, apapun namanya kongres itu. Dan jika kongres ini untuk persatuan, maka Kongres Gajah Mada yang melahirkan ketua Zulmansyah Sekedang harus dinyatakan batal oleh Kongres Cikarang.

Sebab kongres Gajah Mada tidak berpijak pada kausalitas (ketua mati, ketua mundur, ketua dipenjara) Jika kongres bisa dilaksanakan tanpa kausalitas (sebab-akibat), maka ini akan menjadi celah yang setiap saat akan mengganggu persatuan PWI. Ini persoalan amat mendasar, karena kita tak bisa meletakan fondasi persatuan pada landasan yang rapuh. Apalagi hanya pada slogan tanpa dasar.

Menurut usulan Joko Tetuko, floor harus memasukan empat ayat ke dalam PD/PRT organisasi PWI agar kongres kali ini memiliki legitimasi payung hukum berupa PD/PRT. Peserta asal PWI Sumatera Barat mengusulkan agar, floor yang sudah memiliki quorum ini membuat sebuah konsensus yang isinya menyepakati keabsahan kongres ini.

Sedangkan usulan dari Papua yang disampaikan penulis (Abdul Munib), memberi masukan kepada pimpinan sidang dan floor agar eksistensi kongres ini dikokohkan terlebih dahulu melalui mufakat semua yang diketok palu sebagai tanda secara ekaistensial kongres ini wujud.

Fatalnya pimpinan sidang Zulkifli Gani Oto mengabaikan tiga usulan yang cukup mendasar tadi dan malah akan membahasnya tersendiri di luar quorum floor peserta. Tentu saja momentum quorum floor pemilik suara lewat begitu saja, dengan bubarnya acara setelah pemilihan ketua waktu itu. Sehingga kongres tidak memiliki eksistensi baik dari legitimasi konstitusi PD/PRT organisasi maupun legitimasi floor yang memiliki kekuatan hukum tertinggi saat itu.

Bagi orang lain melihat persoalan diatas mungkin sebagai hal kecil saja. Yang penting wakil menteri Komdigi sudah hadir, ketua Dewan Pers sudah hadir dan dari perwakilan Kemenkumham sudah hadir. Pemilihan ketua sudah ada pemenangnya.

Sebagai sebuah organisasi wartawan yang telah berusia 79 tahun, tentu persoalan eksistensial sebuah kongres, yang merupakan ruang tertinggi untuk memutuskan seluruh ketentuan, bukan soal sepele. Sebuah perkawinan meski mas kawinnya satu ton emas atau 3 milyar rupiah (bantuan Komdigi), kalau tidak ada akad yang diucapkan, pernikahan itu gugur keabsahannya.

Itulah analogi yang pas untuk menggambarkan kegiatan di Cikarang itu. Sangat disayangkan SC tidak memahami bahwa momentum quorum ini sangat mahal untuk diabaikan begitu saja, tak digunakan menyepakati kongres jenis ketiga ini (selain kongres lima tahunan dan KLB).

Sesuatu yang dinamakan kongres itu ada karena tercantum dalam ketentuan konstitusi PD/PRT. Ada dua jenis kongres dalam PD/PRT PWI, satu jenis kongres lima tahun sekali, yang kedua KLB (Konferensi Luar Biasa) jika ketua mati, ketua mundur atau ketua berhalangan tetap. Semua pihak yang terlibat dalam jenis kongres ketiga ini harus berbuat hal yang tidak keliru yang kelak akan dipertanyakan oleh generasi mendatang.

Kongres ini tidak bisa masuk dalam jenis kongres tahunan, Karen PWI baru kongres di Bandung 2023 lalu. Juga tidak bisa masuk dalam jenis KLB, karena ketua terpilih kongres lima tahunan 2023, Henri C Bangun tidak meninggal, tidak mengundurkan diri, dan tidak berhalangan tetap. Bahkan ikut menjadi kandidat calon di kongres yang sebenarnya hanya kongres-kongresan itu. Alias kongres bodong.

Untuk jadi jenis kongres ketiga yang dimufakat floor pun kesempatannya hilang, karena pimpinan sidang Zulkifli Gani Oto memasukan masalah ini ke pembahasan diluar momentum quorum pemilik suara yang memiliki posisi tertinggi dan sumber ketentuan PD/PRT.

Terpilihnya Ahmad Munir dalam kumpul-kumpul seluruh ketua Provinsi plus Kota Solo di Cikarang 29 Agustus kemarin lebih tepatnya sebatas simulasi pemilihan ketua. Dalam simulasi itu Ahmad Munir memenangkan 52 suara dan Hendri Chairudin Bangun kalah dengan 35 suara.

Dari 87 suara yang diperebutkan. Momentum kumpulnya pemilik suara dengan biaya tinggi dari seluruh Indonesia ini gagal dimanfaatkan Setering Comite (SC) untuk mengaklamasi (mufakat) bahwa kumpul-kumpul ini adalah sebuah kongres yang syah karena berdasarkan keputusan floor.

Rangkaian terjadinya kumpul-kumpul di Cikarang (KKDC) kemarin didahului oleh adanya isu Chasback dana Uji Kompetensi Wartawan dari BUMN yang kemudian tereskalasi menjadi Perkelahian Wartawan Indonesia (PWI) selama dua tahun terakhir belakangan.

Perkelahian Wartawan Indonesia berlangsung sangat menghabiskan energi. Sudahnya industri bikin berita ini hancur karena digital, organisasi profesi wartawan tertua ini malah buang energi eker-ekeran. PDP/RT PWI ditabrak. Diinjak-injak dengan membuat KLB tanpa kausalitas. Main bikin saja. Padahal legitimasi penyelenggara, jumlah ketua provinsi pemilik suara dan jumlah suara tak pernah diumumkan.

Diperparah Yasona Laoli main buat Akta saja. Berujung HPN dilaksanakan di dua tempat, Riau dan Banjarmasin. Presiden Prabowo tak datang. Dari sinilah urgensi kongres muncul. Tahun depan 2026, jalan karpet merah harus satu, karena presiden mau ke HPN. Kerikil yang menghalangi jalur karpet harus disingkirkan.

Komdigipun akhirnya berhasil membeli PWI untuk lima tahun ke depan. Dengan ketua hasil simulasi yang dibiayai Komdigi, kantor Kebun Sirih dipersilahkan Komarudin Hidayat untuk dibuka segelnya dan dipakai lagi. Padahal Dewan Pers sama-sama numpang di gedung itu. Dan pengusiran oleh Dewan Pers itu pelecehan harga diri PWI yang akan tercatat dalam perjalanan sejarah organisasi ini.

Saya sendiri pilih mundur dari kepengurusan organisasi ini. Karena tak ada lagi kehormatan yang dapat dijadikan pijakan. Saya tak sejalan dengan arus besar kongres Cikarang. Tapi saya tak akan buat KLB yang seperti rombongan burung kasuari yang membentur-benturkan kepalanya di bantaran pohon sambil menginjak-injak kitab sucinya sendiri, PD/PRT.

Kalau akal sehat sudah tidak dipakai, maka kumpulan ini tak ada bedanya dengan kumpulan ternak, Kal An’am. Selamat kepada Cak Munir yang telah memenangkan pemilihan simulasi pada kumpul-kumpul ketua PWI Provinsi di Cikarang kemarin.

*Esais adalah mantan Ketua PWI Papua, Ketua DK PWI Papua Periode 2023-2027