Aksi 15 Agustus di Papua Harus Dimaknai Damai, Parlemen Jalanan : Jangan Anarkis dan Provokasi

Manokwari – Tanggal 15 Agustus pada tiap tahunnya diwilayah Papua dan sekitarnya di peringkati sebagai hari integrasi Papua kedalam NKRI, hari dimana terjadinya perjanjian New York Agreement tahun 1962, yang mana secara garis besarnya adalah penyerahan Irian Barat (Papua) dari tangan Belanda kepada NKRI.

Namun oleh kelompok berlainan ideologi, momen ini dimaknai sebagai hari aneksasi Papua oleh Bangsa Indonesia. Berbagai aksi unjuk rasa juga sering dilakukan oleh kelompok ini, termasuk pihak KNPB.

Aktivis Mahasiswa yang juga Anggota Parlemen Jalanan Manokwari Papua Barat Herzon Korwa melalui media ini memberikan pendapatnya soal aksi-aksi berkaitan dengan 15 Agustus tersebut.

Menurutnya, agenda tersebut bukanlah sebatas kalender tahunan saja, namun sebagai paradoks sejarah yang harus dimaknai secara mendalam.

“Di satu sisi, adanya Perjanjian New York 1962 sebagai sebuah dokumen diplomatik yang menghentikan pertumpahan darah di tanah kita. Namun di sisi lain, ia adalah awal dari sebuah babak sejarah yang hingga kini menyisakan luka dan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang belum terjawab tuntas,”katanya, Selasa (12/8/2025).

Menurutnya, sebagai generasi muda Papua, tidak boleh buta sejarah, namun wajib memahami bahwa Perjanjian New York adalah sebuah kesepakatan yang dirundingkan oleh Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat, tentang arah bangsa Papua.

“Dimana nasib kita (orang Papua) diperbincangkan tanpa kehadiran perwakilan sah orang Papua di meja perundingan. Ini adalah fakta historis yang tak terbantahkan dan menjadi sumber dari kegelisahan kolektif yang kita warisi hingga hari ini,”ucapnya.

Dikatakan, aksi-aksi yang dilakukan tiap tanggal 15 Agustus tersebut adalah ekspresi dari kekecewaan historis yang absah dan sebuah pengingat bahwa ada amanat sejarah yang belum selesai.

“Oleh karena itu, saya mendukung penuh semangat untuk mengkritisi dan merefleksikan kembali perjalanan sejarah ini. Ini bukan soal membenci, tapi soal menuntut kebenaran dan keadilan. Namun, cara kita menuntut haruslah strategis dan cerdas,”katanya.

Dirinya berharap setiap aksi tanggal 15 Agustus termasuk tahun ini 2025, harus dilakukan secara damai, bukan anarkis yang malah akan merugikan banyak pihak.

“Salurkan sikap kritis dalam koridor Damai, tunjukkan bahwa kritik kita berlandaskan intelektualitas, bukan emosi sesaat. Kekacauan hanya akan mendelegitimasi substansi perjuangan kita. Jika kita melakukan perusakan atau kekerasan, narasi akan bergeser dari rakyat menuntut keadilan” menjadi massa anarkis. Ini tidak benar,”katanya

“Jangan berikan amunisi kepada mereka yang tidak ingin mendengar suara kita. Jaga Kamtibmas bukan sebagai tanda ketundukan, tapi sebagai pilihan taktis yang cerdas untuk menjaga marwah perjuangan kita,”imbuhnya.

Aksi menurutnya, harus fokus pada substansi, bukan anarkis meluapkan amarah dijalan-jalan. Jadikan momen tersebut sebagai edukasi bukan provokasi.

“Gunakan momentum ini untuk mengedukasi publik dan generasi muda tentang sejarah yang sebenarnya. Lakukan diskusi, mimbar bebas yang teratur, atau sebarkan tulisan-tulisan yang mencerahkan. Jangan terpancing oleh pihak manapun yang ingin membenturkan kita dengan aparat atau sesama warga. Provokasi sejati bukanlah menyuarakan kebenaran, melainkan membiarkan diri kita diadu domba,” pungkasnya.

Related posts

BPK Mulai Melakukan Pemeriksaan di Waropen

Pasific Pos

Politisi Dukung Paulus Waterpauw Jadi Gubernur Papua

Fani

Warga Maluku di Papua Hadiri Perayaan Hari Pahlawan Kapitan Pattimura ke 207 dan Halal Bihalal

Bams

Tuding Pencalonan Tidak Memenuhi Syarat dan Politik Identitas dalam Pilgub Papua

Fani

DPR Papua Umumkan 5 Fraksi dan Tim Kerja Penyusun Tatib

Bams

Gubernur Papua Resmikan 250 Titik Layanan Internet Starlink

Bams

Leave a Comment