Jayapura – Jangan jadikan pendampingan hukum sebagai alat kriminalisasi. Demikian dikatakan kuasa hukum tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan venue aerosport Mimika, Dr. Anthon Raharusun.
Ia menegaskan, pihaknya akan melaporkan eks Kajari Mimika Sutrisno Margi Utomo, yang dinilai “bersembunyi” di balik klarifikasi media ke Jaksa Agung RI, di Jakarta.
“Kami mempertanyakan, mengapa Kejari Mimika dan Tim Jaksa yang melakukan pendampingan hukum justru terlibat dalam kasus yang kini menyeret sejumlah pejabat dan kontraktor ke penjara? Padahal, pada saat kunjungan lapangan tanggal 16 Juni 2021, Tim Pendamping dari Kejaksaan Negeri Mimika ikut mendamping, lalu mengapa kemudian justeru penyidik Kejaksaan menjeblos Klien kami ke penjara dengan dugaan terjadi dugaan korupsi dalam cabang olahraga Aerosport?” Ujar Anton Raharusun.
Bukankah tugas kejaksaan adalah melakukan pencegahan, bukan memenjarakan pihak yang mereka dampingi?” tegas Anthon dalam keterangannya kepada wartawan di Kota Jayapura, Papua, Kamis (10/7/2025).
Menurut Anthon, klaim eks Kajari Mimika yang menyatakan tidak ada konflik kepentingan dalam pendampingan proyek, justru mencurigakan.
“Kalau memang tidak ada konflik kepentingan, mengapa muncul persoalan hukum dengan tuduhan terjadi kerugian negara yang disebut mencapai Rp31 miliar? Bukankah saat proses berlangsung para jaksa aktif mendampingi dan bahkan turun langsung ke lapangan?” jelasnya.
Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan dokumen yang dikantongi tim kuasa hukum, terdapat surat perintah pendampingan dari Kajari Mimika kepada lima jaksa, untuk mendampingi Dinas PUPR Mimika dalam proyek strategis nasional pembangunan venue aerosport yang bersumber dari dana Otsus-lanjutan sebesar Rp. 82 miliar lebih.
“Pendampingan yang mereka lakukan nyatanya tidak mencegah dugaan korupsi, malah munculkan masalah dugaan korupsi dalam pembangunan sarana dan prasarana Aerosport. Hal Ini tentu saja bertolak belakang dengan tugas dan fungs Kejaksaani Jaksa dalam pemberantasan dan pencehan tindak pidana korupsi pencega pemberantasan ” kata Anthon.
Lebih lanjut, ia menyebut klarifikasi yang disampaikan Sutrisno melalui media hanyalah bentuk kekhawatiran pribadi yang takut namanya ikut terseret dalam permasalahan ini.
“Kalau memang tidak merasa bersalah, mengapa buru-buru klarifikasi di media? Klarifikasi itu tidak menyelesaikan apapun. Klien kami tetap ditahan,” tambahnya. Kalau Kejaksaan pada waktu ikut memberikan masukan atau rekomendasi terkait proyek pembangunan sarana dan prasarana Aerosport, saya yakin tidak permasalahan hukum dalam kasus Aerosport ini. Jadi ini namanya “Pengawal memukul yang dikawal”; mengapa demikian? tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
Anthon juga meminta penyidik Kejati Papua untuk segera memeriksa Sutrisno dan seluruh jaksa yang terlibat dalam pendampingan proyek tersebut, termasuk mengevaluasi apakah mereka benar-benar memiliki mandat dari Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Agung untuk melakukan pendampingan hukum.
“Jangan jadikan pendampingan untuk menata matai pejabat, lalu kemudian menggunakan kekuasaan sebagai alat kriminalisasi untuk memenjarakan Klien kami” ujarnya.
Kuasa hukum juga menyoroti hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bersama PPTK, PPK, dan kontraktor pelaksana yang menyatakan secara fisik proyek tersebut tidak bermasalah. Namun, anehnya, perkara tetap bergulir ke ranah hukum.
“Kalau memang proyek mangkrak, silakan buktikan. Tapi kalau hanya berdasarkan asumsi dan tidak ditemukan kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya, maka ini bukan dalam rangka penegakan hukum, melainkan pembunuhan karakter!” Dan mengkriminalisasi Klien kami kata Anthon.
Anthon menyerukan agar pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi, berhati-hati meminta pendampingan hukum dari kejaksaan, karena menurutnya tidak sedikit kasus di Papua justru bermula dari pendampingan ini, meski telah didampingi oleh pengacara negara.
“Kami minta agar Jaksa Agung turun tangan langsung! Jangan ada lagi jaksa yang jadi algojo atas nama hukum, sementara peran pendampingan dijadikan alat pemidanaan,” tegasnya.
Ia menutup dengan penegasan bahwa tim kuasa hukum akan membuktikan di pengadilan Tipikor Jayapura bahwa tidak ada unsur pidana korupsi dalam proyek pembangunan venue aerosport tersebut, dan seluruh dakwaan yang disusun oleh Kejati Papua akan dilawan dengan bukti konkret dan saksi ahli di persidangan.
Bahkan saat ini kami telah melakukan upaya hukum dengan mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura terkait Tindakan Penangkapan, Penahanan dan Penetapan Tersangka.
Dan permohonan Praperadilan sudah mulai disidangkan hari ini, tapi sayangnya pihak Kejaksaan Tinggi Papua selaku Termohon tidak hadir dengan berbagai alasan. Hadapi saja too, kalau semua tindakan Penyidikan yang sudah dilakukan dalam perkara ini sudah sesuai prosedur.
Ketidak hadiran Kejaksaan Tinggi adalah bagian dari strategi mengulur-ulur waktu agar mereka dapat melimpahkan perkara para Tersangka ke Pengadilan untuk di sidangkan. Padahal, penahanan Klien kami baru akan berakhir sampai dengan tanggal 09 Agustus 2025 atau Pihak Kejaksaan telah memperpanjang masa penahanan selama 40 hari terhitung mulai tanggal 01 Juli sampai dengan tanggal 09 Agustus.
Pertanyaan mereka pihak kejaksaan mempercepat proses pelimpahan perkara ke Pengadilan, hanya gara-gara Klien kami ajukan Praperadilan. padahal, Praperadilan keberadaan lembaga praperadilan di dalam KUHAP bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, terutama hak-hak tersangka.
Selain itu lembaga praperadilan berfungsi sebagai sarana pengawasan horizontal untuk menguji sah atau tidaknya tindakan-tindakan pendahuluan (penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka). Semestinya Kejaksaan Tinggi wajib hadir, bukan menunda-nunda dengan berbagai alasan. Mari kita uji bersama tindakan-tindakan penyidikan yang sudah dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi.