Manokwari, TP – Pernyataan calon Presiden (Capres) dan calon Wakil (Cawapres) Presiden Republik Indonesia, nomor urut 1, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) dan K. H. Ma’aruf Amin, dalam debat perdana mengenai topik Hak Asasi Manusia (HAM) lagi-lagi masih sebatas komitmen lama yang tak jelas pelaksanaannya.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, mengatakan, hal itu tercermin dalam paparan visi yang disampaikan Capres, Jokowi, bahwa pihaknya berkomitmen untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM.
Padahal, dalam slogan Indonesia Maju Jokowi dan Cak Ma’aruf sama sekali belum menjelaskan langkah-langkah konkrit yang dapat dilakukannya untuk menyelesaian kasus dugaan Pelanggaran HAM di Indonesia.
“SAYA sangat meragukan komitmen Capres-Cawapres nomor urut 1, dalam konteks visi – misinya untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM di Indonesia dan Pelanggaran HAM berat di Tanah Papua,” jelas Warinussy dalam pres realese yang diterima Tahura Pos, Jumat (18/1).
Lanjut dia, hal ini didasari langkah nyata yang baru saja dilakukan Jaksa Agung Republik Indonesia, Mochammad Prasetyo dan jajarannya, dalam mengembalikan 9 berkas perkara dugaan Pelangaran HAM di Indonesia.
Termasuk, diungkapkannya, berkas perkara kasus Wasior berdarah tahun 2001 dan kasus Wamena berdarah tahun 2003 di Tanah Papua pada tanggal 27 Desember 2018 lalu.
Dikatakan Warinussy, pengembalian 9 berkas perkara tersebut sama sekali menghilangkan harapan Rakyat Indonesia khususnya Orang Papua, lebih khusus para korban kasus Wasior dan Wamena berdarah yang sudah lebih dari 10 tahun menanti keadilan dan kepastian hukum atas peristiwa yang mereka alami akibat tindakan negara.
Berdasarkan amanat pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, sekaligus tindakan Jaksa Agung RepublikIndonesia dan Komnas HAM Republik Indonesia tersebut, semakin menyuburkan praktek impunitas negara atas rakyat korban pelanggaran HAM berat di Indonesia termasuk di Tanah Papua.
Ia menambahkan, berbanding terbalik dengan Capres dan Capwapres nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, justru tidak menjelaskan komitmen politiknya dalam penyelesaian dugaan Pelanggaran HAM, apabila mereka dipercayakan memimpin Indonesia 5 tahun mendatang.
Kendatipun secara tersirat, Capres dan Cawapres nomor urut 1, mengaku jika mereka akan memulai langkah penegakan hukum dan perlindungan HAM melalui reformasi kelembagaan, tindakan preventif, menumbuhkan budaya taat hukum dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Sebagai salah satu Advokat pembela HAM di Tanah Papua. Saya memandang bahwa langkah mereka langkah mereka, lebih jelas mengarah pada penataan infrastruktur, penegakan hukum dan perlindungan HAM,” jelas Warinussy.
Padahal, seharusnya mereka fokus pada aspek penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini yang sudah menjadi perhatian kedua kandidat tersebut.
Menurut dia, Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dalam aspek peningkatan dan penguatan bagi Komnas HAM seharusnya menjadi perhatian utama. Kewenangan penyelidikan yang selama ini dipegang oleh Komnas HAM menurut pandangannya harus ditambah dengan kewenangan penyidikan, sehingga, Komnas HAM memiliki kewenangan memaksa dalam konteks penegakan hukum disektor perlindungan HAM di Indonesia.
Berkenaan dengan itu, dalam jangka panjang perlu dilakukan revisi atas isi Undang-undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2000 tersebut. Sekaligus kedua kandidat apabila terpilih, harus memberi porsi perhatian pada pengisian jabatan pejabat penegak hukum seperti Jaksa Agung yang berasal dari jajaran profesional atau birokrasi yang ahli disektor HAM dan atau minimal berasal dari organisasi masyarakat sipil (civil society organizatio/CSO) yang memiliki pengalaman dan kompetensi di sektor advokasi HAM nasional dan internasional.
Khusus dalam upaya penyelesaian kasus dugaan Pelanggaran HAM di Tanah Papua, lanjut Warinussy, harus senantiasa mengacu pada amanat pasal 45 dan pasal 46 Undang-undang Republik Indonesia nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat.
“Selaku peraih penghargaan internasional di bidang HAM ‘John Humphrey Freedom award’ tahun 2005 di Canada. Saya mengusulkan agar pemerintah mendatang perlu segera membentuk Pengadilan HAM berat di Jayapura untuk kasus Wamena dan di Manokwari untuk kasus Wasior,” harap dia.
Warinussy menekankan, pembentukan Pengadilan HAM tersebut penting untuk membangun rasa percaya rakyat Papua berkenaan dengan praktek impunitas dan ketidakadilan para korban dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini. [BOM]