Pasific Pos.com
HeadlineKriminal

Tak Yakin Dengan Hasil Autopsi, Keluarga Korban Mutilasi, Minta Dilakukan Otopsi Ulang

Keluarga Korban Pembunuhan dan Mutilasi 4 warga sipil Nduga di Timika saat menggelar jumpa pers disalah satu rumah keluarga Alm korban mutilasi yang berlokasi di Kilo meter 11, Timika, Kabupaten Mimika, Papua, Jumat 02 September 2022.(foto Tiara).

TIMIKA : Keluarga korban pembunuhan mutilasi di Timika, Kabupaten Mimika, Papua, kini angkat bicara. Pasalnya, pihak keluarga merasa tidak yakin terhadap hasil autopsi yang dilakukan oleh pihak RSUD Mimika, Papua itu.

Sehingga pihak keluarga korban mutilasi ini meminta Puslabfor Polda Papua dan Tim Biddokris Polda untuk segera lakukan otopsi ulang, agar hasilnya lebih transparan.

Pernyataan itu, ditegaskan langsung oleh keempat keluarga korban mutilasi saat menggelar jumpa pers di rumah salah satu keluarga Alm yang berlokasi di Kilo meter 11, Timika, Kabupaten Mimika, Papua, Jumat 02 September 2022.

Dalam jumpa pers tersebut, dihadiri Bupati Nduga, Namia Gwijangge, S, Pd, M. Si, sejumlah Anggota DPR Papua, yakni Namantus Gwijangge, Yakoba Lokbere, Laurenzus Kadepa dan Las Nirigi, Anggota DPR Kabupaten Nduga, kuasa hukum keluarga korban, Gustaf Rudolf Kower, SH.M, Si, dan tokoh masyarakat, tokoh agama yang berasal dari Kabupaten Nduga, serta keluarga besar Alm Aptor Lokbere, Juli Gwijange, Latus Nigiri, Gilpinus Tini yang menjadi korban pembunuhan secara mutilasi.

Melalui kuasa hukum keluarga korban, Gustaf Rudolf Kower,SH.,M.Si mengatakan, bahwa saat proses otopsi berlangsung, pihak keluarga korban tidak diberi tahu, maka ia menganggap, otopsi tersebut telah melanggar kode etik.
Seharusnya otopsi dilakukan atas ijin pihak keluarga, tetapi yang terjadi ini tidak demikian.

Menurut Gustaf, ini termasuk Extra Judicial karena terjadi pelanggaran HAM berat. Untuk itu, kasus ini sudah ditanggani dan telah melibatkan 6 LSM dan 24 pengacara yang akan siap mendapinggi keluarga dalam proses hukum.

Bahkan, Gustaf menegaskan, Komnas HAM segera turun tangan dan tidak hanya sekedar memberikan rekomedasi.

“Secara hukum, Otopsi tidak bisa dilakukan tanpa seijin pihak keluarga, maka ini sudah melanggar hukum, kasus ini harus mendapat penanganan luar biasa, Komnas HAM harus turun selidiki kasus mutilasi inj, jika tidak maka negara rasis dalam penegakan hukum, sebab ini dinilai ada konspirasi ”tegas Gustaf dengan lantang.

Dikatakan, mengapa kasus ini disebut konspirasi dan terstruktur, sebab, sudah terlihat sejak korban dijemput di bandara, hingga terjadi pembunuhan, maka pihak kepolisian, harus memeriksa semua CCTV yang ada dibandara, dan semua HP pelaku juga korban harus di dibuka oleh tim cyber crime Polda Papua.

Bahkan yang membuat pihak kuasa hukum korban bertanya-tanya, mengapa, hasil otopsi disampaikan seminggu sesudah dilakukan otopsi, padahal yang semenstinya tidak begitu, hasil otopsi tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama, untuk disampaikan ke publik.

Sedangkan diketahui, kata Gustaf, empat warga sipil yang ikut terlibat dalam pembunuhan, setelah diselidiki, masih ada hubungannya dengan anggota TNI.

“Maka dalam kasus ini pelaku dijerat dengan Pasal 340 Subsider 338 Juncto Pasal 56 dan 55 KUHP, Dengan hukuman mati,” tandasnya.

Sememtara itu, Pale Gwijange Perwakilan dari keluarga menegaskan, jika mereka (keluarga korban) hingga kini tidak mempercayai motif pelaku yang disampaikan oleh Polda Papua.

“Kami minta motif yang sebenarnya dibuka, karena kami tidak percaya dengan motif yang disampaikan pihak Polda, jika ini memang motifnya murni perampokan, karena yang terlibat tersangka berpangkat tinggi, sehingga kami menduga, ada motif lain dibalik ini,”ujar Pale.

Jika korban, adalah anggota KKB, lanjut Pale Geijangge, maka mereka (korban) pastinya ditanggapi dan diproses hukum, begitu juga jika ini murni perampokan, maka korban tidak mesti dibunuh dengan cara sadis hingga dimutilasi.

“Dengan begitu kami meminta LSM tolong kawal kasus ini, gereja harus bersuara, karena empat korban ini, merupakan pengurus dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKI). Kami juga minta seluruh proses hukum harus dilakukan di Pengadilan Timika. Karena pembunuhan ini terjadi disini, maka proses hukumnya juga harus dilakukan di Timika, bukan di Jayapura, di Makassar atau dimana, tapi harus di Mimika,” tegas Pale Gwijangge.

Untuk itu, pihak keluarga juga menutut, kepada Presiden RI, Panglima TNI, Komisi I dan III DPR RI, Kapolri, Kapolda Papua, Pangdam XVII/Cenderawasih, Kapolres Mimika dan Kodim Mimika, segera bertanggung jawab atas keempat warga Nduga yang dibunuh dengan cara dimutilasi.

Apalagi, empat korban mutilasi itu hingga kini bagian kepalanya belum ditemukan. Sehingga membuat pihak keluarga makin geram dan pihak keluarga tidak menerima atas perlakuan biadab yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab itu.

“Keempat korban mutilasi ini adalah murni warga sipil dan itu didukung dari penyampaian berbagai pihak termasuk Bupati Nduga. Jadi kami minta dengan tegas para pelaku segera diproses hukum seadil adilnya sesuai dengan peraturan Perundang undangan Pasal 340 KUHP, yaitu hukuman mati!, “tekannya.

“Juga harus bisa mengungkap motif dari pembunuhan itu. Ini harus diperjelas karena dengan alasana apa pun tidak boleh dibunuh dengan cara seperti ini. TNI membunuh?, ini sudah diluar dari slogan TNI yang katanya melindungi dan mengayomi rakyat,” sambungnya.

Selain itu, pihak keluarga juga meminta Komnas HAM, Komisi I dan Komisi II DPR RI segera bentuk tim investigasi untuk menangkap para pelaku.

“Ini yang belum ditemukan kepala dan kaki. Jadi, kami minta kepada para oknum pelaku, jelaskan dimana potongan kepala dan kaki korban ini.Kalian bawa kemana anggota tubuh lainnya, kepala dan kaki,” tandas Pale Gwijangge dengan nada kesal. (Tiara).