Manokwari, TP – Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2019 yang jatuh pada tanggal 9 Februari, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Papua Barat menggelar kegiatan sosialisasi tentang pedoman terbaru pemberitaan kekerasan terhadap anak dan penyerahan Kartu PWI secara simbolis bertempat di Rumah Makan (RM) Salam Manis Jalan Merdeka Kabupaten Manokwari, Rabu (6/3) sekitar pukul 10.00.
Dalam kegiatan itu turut hadir, Wakapolres Manokwari, Kompol Winarto, Perwakilan kantor Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak, Tokoh Agama serta puluhan wartawan atau journalist, baik dari media cetak atau Koran, media online, Televisi, RRI dan sebagainya.
Ketua PWI Papua Barat, Bustam dalam sambutannya menyampaikan, suatu kebanggaan karena PWI Papua Barat menjadi yang pertama kali menggelar kegiatan sosialisasi tentang pedoman terbaru pemberitaan kekerasan terhadap anak.
Alasan kegiatan sosialisasi itu dilakukan berdasarkan adanya kesepakatan antara Kementerian PPPA RI dan Komunitas Pers yang berada di bawah naungan dewan pers perlunya pedoman ramah anak.
Sedangkan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk memberikan pemahaman serta mendapatkan masukan dari berbagai instansi, menemukan solusi serta menyamakan persepsi, sehingga diharapkan dalam pertemuan itu menghasilkan diskusi antara media dan instansi untuk dapat saling bertukar pikiran guna menemukan solusi.
Pasalnya, menurut Bustam, sesuai dengan kode etik journalist terkait pemberitaan terkait anak, baik media maupun instansi wajib untuk melindungi korban, keluarga dan saksi. “Masih banyak wartawan atau journalist yang masih riskan dan miris dalam penulisan pemberitaan terhadap anak, maka dari itu saya berharap ini dapat diikuti dengan baik karena Uji Kompetensi Wartawan (UKW) 2019 nanti akan ada materi ini,” tandas Bustam.
Sementara itu, Kepala Biro LKBN Antara Papua Barat, Key Tokan Abdul Asis yang juga bertindak sebagai pemateri menyampaikan, ada sekitar 12 poin yang dikemas dalam pedoman dalam pemberitaan ramah anak.
12 pedoman itu diantaranya, wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberikan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka didakwa melakukan pelanggaran hukum atau pidana atas kejahatannya.
Wartawan memberitakan secara factual dengan kalimat, narasi, visual, audio yang bernuansa positif, empati dan tidak membuat deskripsi atau rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuannya atau keluarganya, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
Wartawan dapat megambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi atau pencapaian mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
Wartawan tidak menggali informasinya dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap atau ditahan.
Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah atau keluarga antara korban anak dan pelaku. Apabila identitas sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkap.
Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolekan mengungkapkan identitas tapi apabila kemudian diketahu keberadaannya maka dalam pemberitaan berikutnya segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapus.
Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait politik dan mengandung SARA.
Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi Video, Foto, Status, Audio semata-mata hanya dari media sosial. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang system Peradilan Pidana Anak (SPPA).
“Jadi 12 poin ini harus menjadi perhatian wartawan termasuk Pemred dan Redaktur dalam penulisan kekerasan terhadap anak, penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan pedoman ini diselesaikan oleh Dewan Pers sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan peraturan-peraturan Dewan Pers yang berlaku. Ingat kalau ada yang melanggar sanksinya pidana penjara 5 tahun dan denda 500 juta,” terang Asis.
Menurutnya, sebenarnya pemberitaan ramah anak telah dikemas dalam kode etik journalist namun lebih berbasis kepada anak sebagai korban, sedangkan anak dalam konteks perlindungai baru yang diformulasikan dalam pemberitaan ramah anak berbasis anak sebagai korban, anak sebagai saksi, dan anak sebagai pelaku.
Selain itu, kata Asis, sekarang tidak dibenarkan lagi wartawan atau journalist menggunakan nama samaran karena hal tersebut terkait jati diri nama, sehingga wartawan cukup menulis inisial yang bersangkutan. “Kalau dulu banyak yang pakai nama melati, bunga dan sebagainya sekarang tidak bisa, cukup inisial,” kata Asis.
Kemudian, lanjut Asis, untuk penulisan alamat cakupannya telah diperluas, sedangkan untuk saat ini media tidak boleh lagi untuk menyebutkan nama alamat sampai tingkat desa atau kelurahan, apalagi RT dan jarak, cukup sampai tingkat kecamatan, dengan asumsi di kecamatan tersebut telah ada polsek, biar penyidik yang menangani, jangan minta informasi di orang tua anak dan keluarganya.
“Ini ketiganya tetap harus dilindungi, tidak boleh diungkap identiasnya. Kalau dulu identitas anak kita lindungi saat jadi korban, tapi sekarang yang terbaru baik dia sebagai korban, saksi dan pelaku tetap kita harus lindungi,” jelasnya.
Media bukan lembaga anti kritik, meski ada diamanatkan oleh Undang-undang Pers, karena fungsi media jelas diantaranya menyajikan informasi atau berita, menyajikan hiburan, melakukan kontrol sosial dan mendidik serta mencerdaskan bangsa.
“Kalau kita tidak mengacu pada keempat fungsi ini maka kita akan melakukan banyak kesalahan, kita wajib memahami materi ini karena ini kurikulum terbaru dan akan diujikan untuk mendapatkan verifikasi wartawan,” tandasnya.
Secara terpisah, Wakapolres Manokwari, Kompol Winarto saat dijumpai Tabura Pos di RM Salam Manis mengatakan, dirinya mengapresiasi kegiatan tersebut, pasalnya hak-hak anak perlu dilindungi untuk masa depan anak tersebut.
Winarto berharap, dengan dilaksanakannya kegiatan tersebut, pekerja pers dapat meningkatkan integritasnya, kekompakan, keselarasan, sehingga dunia pers betul-betul hidup di Papua Barat khusunya di Manokwari serta tidak merugikan pihak lain.
“Ini sangat bagus karena kita wajib untuk melindungi hak-hak anak, jangan sampai masa depan mereka hancur melalui pemberitaan atau istilah dan sebagainya. Ini luar biasa dan pengetahuan buat kita semua termasuk aparat keamanan dan semua kalangan, bukan hanya untuk media saja, saya berharap agar pekerja pers betul-betul dapat menjadi corong semua pihak,” tandasnya. [CR45-R1]