Pasific Pos.com
HeadlineSosial & Politik

Perebutan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah, Antara Nabire dan Mimika Jadi Perdebatan Sengit Dalam Rapat Panja Komisi II DPR RI

Bupati Mimika yang juga sebagai Ketua Asosiasi Bupati Meepago, Eltinus Omaleng saat menyampaikan pendapatnya dihadapan Komisi II DPR RI terkait pembentukan Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan berlangsung di Hotel Horison Kotaraja, Abepura, Sabtu, 25 Juni 2022. (foto Tiara).

Jayapura – Rapat Panja Komisi II DPR RI bersama Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Tanah Papua dalam rangka penyerapan aspirasi terkait pembentukan Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan berlangsung di Hotel Horison Kotaraja, Abepura, Sabtu, 25 Juni 2022, sempat terjadi perdebatan yang sengit dan saling lempar argumen, dikarenakan
perebutan Ibu Kota Provinsi Pegunungan Tengah antara Nabire dan Mimika

Dimana dalam kesempatan itu, Bupati Nabire, Mesak Magai mengatakan, jika rencana pemekaran tiga provinsi baru di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Pegunungan Tengah.

“Sebetulnya dua provinsi yakni Papua Selatan dan Papua Pegunungan tidak ada masalah bagi penempatan ibu kota provinsi. Tapi Papua Tengah sedikit ada tarik menarik penempatan ibu kota provinsi antara Nabire dan Mimika,” kata Mesak Magai.

Selain itu, Mesak Magai juga menjelaskan histori pemerintah Provinsi Papua saat itu Provinsi Irian Jaya, dimana ada 9 kabupaten. Namun, setelah ada Papua Barat, Provinsi Papua sudah ada 29 kabupaten/kota.

Untuk itu, Mesak meminta pemerintah dan DPR RI bahwa Papua ada kota sentral, dimana Papua Selatan kota sentralnya ada di Merauke untuk menjangkau beberapa kabupaten di wilayah Papua Selatan, begitu juga di Papua bahwa Kabupaten dan Kota Jayapura menjadi kota sentral menjangkau kabupaten yang terletak di wilayah itu.

Begitu juga ungkap Mesak, di Teluk Cenderawasih, dimana Kabupaten Biak Numfor menjadi kota sentral se kawasan kepulauan dan pesisir.

“Kami di Papua Tengah kota sentralnya ada di Nabire. Karena, Kabupaten Nabire merupakan kabupaten tertua sejak Provinsi Irian Jaya. Bahkan, Kabupaten Nabire memekarkan menjadi 7 kabupaten, bahkan sudah punya cucu. Kabupaten Nabire mekarkan ada beberapa kabupaten yakni Dogiyai, Paniai dan Puncak Jaya. Kabupaten Puncak Jaya mekarkan Kabupaten Puncak, sedangkan Paniai memekarkan Kabupaten Intan Jaya dan Deiyai. Kalau Mimika saya tidak bicara, karena pemekaran dari Fakfak,” paparnya.

Bahkan, ungkap Mesak, jika melihat sisi penduduk mayoritas orang asli Papua lebih banyak di Nabire.

“Maka dari itu, saya tidak datang sendiri ditemani oleh anak dan cucu saya, Kabupaten Dogiyai, Paniai, Intan Jaya dan Puncak Jaya untuk menentukan tempat yang istimewa, rapat yang istimewa ini bahwa Nabire merupakan ibu kota provinsi Papua Tengah. Dengan demikian, beberapa pernyataan sudah kami siapkan dalam proposal kami, yakni pernyataan untuk kesiapan kantor gubernur, persiapan pembebasan lahan dari dewan adat, pernyataan dari 6 bupati untuk dana hibah persiapan Provinsi Papua Tengah,” ujar Mesak.

Selain itu, kata Mesak, pihaknya juga telah menyiapkan kajian akademik dari Uncen untuk Kabupaten Nabire layak menjadi Ibu Kota Provinsi Papua Tengah.

Mantan Anggota DPR Papua ini bahkan menyerahkan aspirasi pernyataan itu dalam sebuah noken kepada Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Dolly Kurnia Tanjung.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Bupati Meepago, Eltinus Omaleng menyampaikan terima kasih atas RUU 3 Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran provinsi di Papua yang kini dibahas Komisi II DPR RI ini.

“Kami terima kasih banyak kepada Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri yang berusaha menetapkan 3 RUU Provinsi baru di Papua dan telah ditetapkan ibu kotanya di Mimika untuk Provinsi Papua Tengah, gak usah bicara banyak dulu,” kata Eltinus Omaleng.

Namun Eltinus Omaleng yang juga sebagai Bupati Mimika ini mengaku tidak mengetahui keberadaan para bupati di Meepago tersebut, kemudian muncul untuk pemekaran Provinsi Papua Tengah.

“Mestinya mereka tampil di depan. Terima DOB dan terima Otsus, nah itu baru laki-laki,” cetusnya.

Bahkan, lanjut Eltinus Omaleng, sudah ada penandatangan persetujuan ibu kota Provinsi Papua Tengah ada di Timika, Kabupaten Mimika.

Bupati Mimika yang juga sebagai Ketua Asosiasi Bupati Meepago, Eltinus Omaleng saat menyampaikan pendapatnya dihadapan Komisi II DPR RI terkait pembentukan Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan berlangsung di Hotel Horison Kotaraja, Abepura, Sabtu, 25 Juni 2022. (foto Tiara).

“Sudah setuju, tujuh kabupaten sudah tandatangan dan dokumennya lengkap di kita. Itu sudah harga mati, ibu kota provinsi di Timika,” tegas Eltinus Omaleng.

Pada kesempatan itu, orang nomor satu di Mimika ini menyampaikan aspirasi dalam Rapat Panja Komisi II DPR RI di Hotel Horison Kotaraja, 25 Juni 2022.

Hanya saja, Eltinus Omaleng menilai jika ibu kota provinsi di Nabire, tidak tepat, lantaran Nabire merupakan daerah rawan gempa, tentu bisa merugikan dari sisi pembangunan.

“Kemarin saja, gempa dua kali di Nabire. Itu adalah bukti bahwa tidak boleh ibu kota Provinsi Papua Tengah di Nabire. Alam sudah tahu, tidak boleh di Nabire sana, itu aset negara akan rugi disitu,” tekannya mengingatkan.

Apalagi, ungkap Eltinus Omaleng, jika pemekaran pada tahun 2003 sudah mengorbankan 7 orang warga.

“Nah, itu sudah dibungkusi darah bahwa harga mati ibu kota Provinsi Papua Tengah ada di Mimika. Jika hari ini mau dipindah ke Nabire, maka besok akan menyala. Itu akan terjadi lagi konflik,” tandasnya.

Padahal, beber Eltinus Omaleng, warga yang dulunya pro kontra pemekaran, kini telah bersatu menerima pemekaran Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota di Mimika.

“Ini ifrastruktur sudah lengkap, sertifikat bukan baru lepas tanah adat, tapi sudah siap serahkan ke provinsi. Tidak boleh itu, bahkan kami juga sudah siapkan Rp 2 triliun, supaya kamu tahu. Untuk itu, saya minta ibu kota ada di Timika, saya tidak mau tahu itu,” tegas Eltinus Omaleng.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Dolly Kurnia Tanjung mengatakan, jika pihaknya sudah menangkap semua aspirasi yang disampaikan dalam rapat Panja Komisi II DPR RI ini.

“Masalahnya sudah tahu. Satu, masalah di Papua Tengah itu masalah ibu kota dan kedua adalah masalah posisi Kabupaten Pegunungan Bintang,” ujar Ahmad Dolly Kurnia.

Apalagi kata Ahmad Dolly Kurnia, jika di seluruh dunia ini, tidak ada pemerintah yang mau mencelakakan atau menyengsarakan rakyatnya.

“Untuk itu, apapun yang pemerintah inginkan, apapun yang negara inginkan, karena kita negara hukum, maka kita semuanya menyelesaikannya secara hukum atau peraturan perundangan,” tuturnya.

Apalagi lanjutnya, urusan pemekaran Papua ini, bukan hanya satu undang-undang, tapi banyak undang-undang yang melatarbelakangi sebelumnya, termasuk UU Otsus dan setelah itu banyak peraturan perundangan yang harus dilengkapi, agar bisa menjawab semua persoalan di Papua, baik soal ASN, affirmative orang asli Papua, migrasi dan lain-lainnya.

“Jadi kami sudah menangkap itu semua, nanti kami akan bicara dengan pemerintah bahwa setelah ini kami akan ikut mengawal. Tapi harus ada road map, harus ada rencana kerja sampai memang urusan di Papua tuntas hingga utuh 3 atau 5 provinsi lagi. Itulah pentingnya semua aspirasi kami tampung,” ujar Ahmad Dolly Kurnia.

Yang jelas tambah Ahmad Dolly Kurnia, dalam menyelesaikan masalah itu, pihaknya akan melibatkan semua stakeholder termasuk pemerintah di Papua.

“Ya nanti akan kami undang pihak-pihak tadi dan akan kita selesaikan dua masalah tadi secara kekeluargaan dan musyawarah dalam waktu dekat,” imbuhnya. (Tiara).