Pasific Pos.com
Papua Barat

Masyarakat Adat Sough Bohon Diminta Jaga Tanah dan Hutan

Ransiki, TP – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusaka bekerjasama dengan Yayasan  Panah Papua menggelar lokakarya peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat Sough Bohon agar menjaga tanah dan hutan alam Papua.

Lokakarya yang digelar di Distrik Tahota, Kabupaten Manokwari Selatan, Kamis (21/3), dihadiri oleh Kepala Distrik Tahota Albert Mokiri, Wakil Ketua MRP PB Yulianus Tefu serta anggota Yayasan Panah Papua.

Kepala Distrik Tahota Albert Mokiri SE, mengatakan kawasan Tahota mayoritas masuk dalam kawasan hutan lindung. Namun, Ia mengakui bahwa wilayah Tahota mulai dirambah untuk membuka lahan perkebunan kelapa Sawit.

Ia menyebutkan, sesuai informasi yang terima pihaknya akan ada dua perusahaan Sawit yang akan beroperasi di wilayah Tahota. Ia menjelaskan, kehadiran perusahan Sawit itu juga mendapatkan ijin dari masyarakat adat.

“Sesuai informasi akan ada satu perusahaan lagi yang masuk Tahota. Itu juga keinginana dari masyarakat adat makanya ada ijin operasi di Tahota. Kalau masyarakat adat menginginkan tentu saya tidak bisa berbuat apa –apa, meski demikian tetap saya menggugah perasaan masyarakat itu sendiri,” kata Mokiri.   

Mokiri mengungkapkan, selama ini, sudah ada dua  perusahan Sawit yang beroperasi di Tahota, namun dirinya menilai perusahan itu belum membawa dampak positif kepada masyarakat. Sebab masyarakat pemilik hak ulayat  tidak menikmati apa-apa.  

Untuk itu, Mokiri mengajak masyarakat berpikir secara positif demi menjaga kelestarian dan potensi sumber daya alam Tahota. Sebab, begitu perusahaan Sawit sudah beroperasi maka masyarakat selaku pemilik hak ulayat tidak  bisa lagi melakukan aktivitas di sekitar lokasi perusahaan tersebut.

Misalnya, lanjut Mokori, kala waktu dirinya di Sidey, masyarakat masih leluasa memasang jerat di belakang rumah, namun begitu perusahan beroperasi maka lokasi pasang jerat juga semakin jauh. Saat itu, aku Mokiri, dirinya bersama beberapa kepala suku sempat ikut menerima masuknya perusahan Sawit tersebut,  namun setelah dirinya melihat kembali dampak terkait pembukaan lahan Sawit itu, kemudian dirinya berubah pikiran.

Ia menuturkan, awalnya, masyarakat menerima perusahaan Sawit masuk ke wilayah adatnya karena tidak paham terkait dampak yang akan ditimbulkan jika perusahaan tersebut beroperasi, karena dibenak masyarakat hanya soal kesejahteraan saja, sementara dampak akhir dari  pembangunan tersebut masyarakat tidak terlalu paham.  

Dengan demikian, dirinya mengembalikan kepada masyarakat adat untuk kembali mempertimbangkan masuknya perusahaan Sawit ke Tahota. Jika masyarakat tetap menerima perusahaan untuk melakukan pembukaan perkebunan Sawit di daerah Tahota, maka masyarakat harus siap menerima secara langsung  dampak atau akibat yang terjadi dikemudian hari.

Ketua Perkumpulan Panah Papua , Sulvianto mengatakan pihaknya telah menerima informasi bahwa masyarakat Tahota dan Isim menerima masuknya perusahaan Sawit dan apa yang dijanjikan oleh pihak perusahaan kepada masyarakat adat.  “Itu, semua kembali kepada masyarakat selaku pemilik hak ulayat untuk  menerima atau menolaknya,” kata Sulvianto.

Sementara Wakil Ketua MRP Papua Barat, Yulianus Fetu dalam materinya mengatakan peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat Sough Bohon untuk menjaga Tanah dan Hutan di wilayahnya perlu ditingkatkan dengan terus memberikan edukasi.

Misalnya, dampak dari setiap pembukaan lahan perkebunan Sawit, kemudian menjelaskan secara transparan studi kelayakan dan studi AMDAL. “Kalau tahapan ini sudah dilalui maka disusunlah  dokumen yang baik, apakah perusahaan Sawit itu layak dibuka atau tidak,” kata Yulianus menambahkan bahwa luas lahan yang dibutuhkan untuk membuka lahan perkebunan Sawit sangat luas. Untuk itu, masyarakat harus merasakan dampaknya.  

“MRP PB tentu berperan memastikan hak–hak masyarakat adat terpenuhi, meski demikian masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat  juga perlu berpikir secara matang untuk menerima setiap perusahaan Sawit yang masuk, karena begitu perusahaan sudah beroperasi bukan hanya persoalan pengelolaan tanah tetapi penebangan pohon yang masuk lokasi perkebuban pasti terjadi, Ini harus menjadi perhatian,” tukasnya.

Tak ingin masyarakat adat dirugikan dalam upaya pembukaan lahan perkebunan kepala Sawit, Yulianus berharap agar masyarakat adat selalu koordinasi ke MRP Papua Barat dan pihak terkait, karena tidak menutup kemungkinan keinginan pihak yang ingin membuka perusahan Sawit di daerah dibekingi oleh oknum tertentu yang justru sangat merugikan masyarakat.

Sementara Staf Ahli MRP PB, Abdul Solihin menambahkan, Manokwari Selatan sebagai daerah  pemekaran tentu membuka peluang bagi investor untuk menanamkan sahamnya di daerah Manokwari Selatan guna bisa mendapatkan PAD, namun perlu diperhatikan dampak yang akan terjadi dengan diijinkan pembukaan lahan tersebut.  Sebab  tidak semua perusahaan itu  bisa mendatangkan keuntungan bagi masyarakat adat.[CR35-R2]