Jayapura,- Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Papua, menggelar aksi demonstrasi di Lingkaran Abepura, Jayapura, Selasa, 02 September 2025.
Unjuk rasa inii digelar sejak pagi hingga siang hari, sebagai bentuk protes atas berbagai dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, khususnya insiden penangkapan dan kekerasan terhadap aktivis dan masyarakat sipil di Sorong, Papua Barat Daya.
Aksi demonstrasi ini dipimpin oleh Koordinator Yulianus Bonai, Wakil Korlap Solbin Mega, dan penanggungjawab aksi Kamus Bayage.
Berbagai spanduk dibentangkan oleh massa pendemo dan poster yang bertuliskan “Papua Darurat Militer”, “Bebaskan Tanpa Syarat Elisa Bisulu” dan seruan untuk menghentikan kekerasan aparat di Papua.
Salah satu perwakilan mahasiswa dalam orasinya menegaskan bahwa kekerasan militer di Papua bukan hal baru, namun telah berlangsung sejak integrasi Papua ke dalam NKRI melalui berbagai peristiwa sejarah seperti Trikora (1961), Perjanjian New York (1962), hingga Pepera (1969) yang dianggap tidak melibatkan rakyat Papua sebagai subjek hukum.
“Kekerasan dan pelanggaran HAM terus berulang dari masa ke masa. Biak berdarah, Mapenduma berdarah, Wamena berdarah, dan kini kembali terjadi di Sorong,”ungkap Yulianus Bonai dalam orasinya.
Yulianus membeberkan bahwa pemicu aksi kali ini dipicu oleh penangkapan paksa terhadap aktivis Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (FNMPP), Yance Manggaprouw, oleh aparat Resmob Polresta Sorong Kota pada tanggal 27 Agustus 2025, lalu.
Menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Sorong, Yance ditangkap tanpa surat penangkapan resmi dan mengalami kekerasan fisik saat proses penangkapan.
“Yance ditendang keluar dari rumahnya, dipukul menggunakan popor senjata, dicekik, dan mengalami luka di bagian kepala serta tangan. Ini merupakan bentuk penyiksaan yang melanggar KUHP dan Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia,” jelas pernyataan LBH.
Tak hanya Yance, sekitar 17 warga sipil lainnya juga turut ditangkap secara sewenang-wenang tanpa prosedur hukum yang sah. Salah satu di antaranya adalah anak berusia 15 tahun berinisial YK, yang turut menjadi korban kekerasan aparat.
Sementara itu, dalam pernyataan sikap yang dibacakan penanggungjawab aksi, Kamus Bayage mengungkapkan, Solidaritas Mahasiswa Papua menyampaikan 11 tuntutan utama, antara lain:
Untuk itu, Kapolri diminta segera memerintahkan Kapolda Papua Barat Daya dan Kapolresta Sorong untuk membebaskan masyarakat sipil yang ditahan serta memproses hukum oknum polisi pelaku kekerasan.
Komnas HAM RI dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diminta turun tangan menyelidiki tindakan penyiksaan terhadap warga sipil dan anak di bawah umur.
Mengecam tindakan Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, yang diduga memerintahkan aparat gabungan untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil.
Mahkamah Agung didesak untuk menghentikan proses hukum terhadap empat tahanan politik yang dinilai hanya menyampaikan pendapat secara damai.
Para mahasiswa akhirnya menutup aksinya dengan seruan persatuan antarorganisasi gerakan mahasiswa di Papua agar lebih kuat dalam menyuarakan keadilan dan HAM.
“Perlawanan harus terus berjalan, karena penindasan terus berlangsung. Saatnya bersatu melihat musuh yang nyata: kolonialisme dalam bentuk kekuasaan yang menindas rakyat Papua,” tegas Kamus Bayage. (Tiara).