NABIRE – Koalisi Anti Mafia Hutan mengadukan lima perusahaan pengolahan dan penggergajian kayu di Provinsi Papua dan Papua Barat. Perusahaan ini diduga melanggar aturan SVLK dan tata usaha kayu. Para koalisi antara lain, Papua Forest Watch, PBHKP Sorong, Jerat Papua, LBH Papua, Walhi Papua, ICW, ELSAM, Greenpeace dan AURIGA.
“Kelima perusahaan ini telah memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK),” ujar Charles Tawaru dari Greenpeace saat via selulernya, Rabu (3/4).
Pengaduan ini menurut Tawaru, dilayangkan kepada empat Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK), yaitu PT. Ayamaru Sertifikasi (AS), PT. TRANsTRA PERMADA (TP), PT. Inti Multima Sertifikasi (IMS), dan PT Lamboja Sertifikasi (LS). Mereka harus bertanggungjawab atas hasil penalikan terhadap PT SE Unit II, CV HI, PT MGM, PT IMS, PT BMI, dan PT TMBAK.
“Kami telah menyampaikan aduan ini pada 22 Maret 2019, berdasarkan temuan selama pemantauan yang dilakukan sejak Oktober 2017 sampai dengan Desember 2018 di beberapa lokasi di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pada 27 November 2017, Koalisi pernah mengadukan 7 industri di Papua, yang merupakan temuan hasil pemantauan pada periode sebelumnya,” ujarnya.
Sejumlah industri ini diduga menerima kayu dari sumber yang tidak ada dokumennya. Pemperdagangkan kayu yang tidak jelas asal usulnya, pemalsuan id barcode atau penggunaan barcode tidak sesuai peruntukannya, dan sejumlah indikasi lainnya. Mereka diduga sebagai perusahaan yang menampung kayu – kayu terindikasi tidak sesuai dan diluar mekanisme usaha kayu atau ilegal dan tidak tercatat semuanya.
Setelah melanjutkan pemantauan sampai saat ini di lapangan dan sepanjang tahun ini, pihakinya telah menemukan sedikitnya 70 perusahaan yang terindikasi terlibat di dalam aktivitas peredaran kayu yang diduga ilegal, namun dari jumlah tersebut, baru lima yang dilaporkan sesuai mekanisme SVLK.
“Di sana akan dipastikan legalitasnya, apakah kayu legal atau ilegal, sebagai upaya terjadinya aktivitas pembalakan liar. Dan SVKL sudah dibentuk sejak tahun 2001 dan sampai sekarang sudah mandatoring yang artinya, setiap industi wajib memenuhi kriteria dan sistem yang salah satu indikatornya adalah meastikan keterlacakan sumber bahan baku,” terangnya.
Lanjut Tawaru, Tiga di antara perusahaan tersebut pernah diadukan pada November 2017. seperti CV HI, PT MGM, dan PT SE Unit II dan ketiganya kembali diadukan kali ini.
Berulangnya pelanggaran oleh perusahaan-perusahaan ini mengindikasikan ada kelemahan pada instrumen SVLK dalam hal penegakan hukum atau penindakan atas pelanggaran instrumen sistem tersebut.
“Temuan hasil pemantauan terbaru, menemukan indikasi pelanggaran serius yang dilakukan oleh industri maupun pemilik konsesi. Koalisi menemukan adanya praktik “barcode terbang,” yaitu menggunakan id barcode asli tapi dipasang pada kayu yang tidak seharusnya, hal ini terlihat setelah kami mengajukan lacak barcode kepada KLHK,” paparnya.
Semkentara itu, Syarul Fitra dari Aurigan menambahkan dugaan lainnya adalah adanya industri yang menampung kayu, yang diduga hasil pembalakan liar dan melakukan pengiriman ketika sertifikasinya dinyatakan tidak lulus. Serta tidak melaporkan realisasi pasokan bahan bakunya ke dalam sistem yang ada.
Dua di antara perusahaan yang diadukan kali ini, PT. MGM dan CV HI, ditangkap oleh Gakkum KLHK Pada sebuah operasi di Pelabuhan Sukarno Hatta, Makasar. Walaupun belum berkekuatan hukum tetap, penangkapan ini mengonfirmasi adanya aktivitas illegal yang dilakukan oleh industri yang telah bersertifikat. Sayangnya pasca penangkapan oleh Gakkum tersebut, sertifikat industri yang terlibat masih tetap aktif.
Oleh karena itu, Koalisi menggunakan berbagai jalur sebagai bentuk pengawasan publik yakni melalui pelaporan dengan mekanisme SVLK kepada Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) serta menyampaikan temuan yang diperoleh ke Komite Akreditasi Nasional, Gakkum KLHK dan Dirjen PHPL.
Sehingga, mendesak PT. Ayamaru Sertifikasi, PT. TRANs TRA PERMADA, PT. Inti Multima Sertifikasi dan PT. Lamboja Sertifikasi untuk melakukan audit khusus dan mencabut S-LK perusahaan terkait KLHK untuk melakukan audit khusus terhadap seluruh izin industri primer di Provinsi Papua.
“Dan mencabut izin-izin perusahan yang terbukti terlibat aktivitas peredaran kayu illegal atau tidak sesuai prosedur tata usaha kayu,” tuturnya. (pas)