Manokwari, TP – Mantan Kepala Bidang (Kabid) Amdal Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Teluk Wondama, Jhon Laotong dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan (2,5 tahun) dan denda Rp. 50 juta subsider 2 bulan kurungan, Selasa (26/2).
Selain itu, majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat di Manokwari yang diketuai, Sonny A.B. Laoemoery, SH menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar ganti rugi keuangan negara sebesar Rp. 553.060.000.
Ketentuannya, jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam kurun waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita kejaksaan untuk dilelang sebagai uang pengganti. Jika harta benda terpidana nilainya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti, diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.
Sidang beragenda pembacaan putusan atas kasus tindak pidana korupsi (tipikor) kegiatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) di BLH Kabupaten Teluk Wondama Tahun Anggaran 2015 ini, dihadiri jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Manokwari, Decyana Caprina, SH dan penasehat hukum terdakwa, Ahmad Junaidi, SH, MH.
Menurut majelis hakim, sebagaimana fakta dalam persidangan, terdakwa selaku Kabid Amdal sekaligus pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), dalam menjalankan tugas pokok telah melakukan konsultasi penyusunan dokumen Amdal, UKL-UPL secara lintas sektoral di wilayah Kabupaten Teluk Wondama.
Berdasarkan Peraturan Bupati Teluk Wondama Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penjabaran Perubahan APBD Satker BLH Kabupaten Teluk Wondama dengan sumber Dana Alokasi Umum (DAU), diprogramkan kegiatan pengkajian Amdal dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 1 miliar. Anggaran itu untuk kegiatan pengkajian di 4 lokasi, yakni TPA Sanderawoi, PLTD Manopi, RSUD Manggurai, dan Dermaga Kuri Pasai, Wasior.
Dalam melaksanakan kegiatan pengkajian Amdal di 4 lokasi, Jhon Laotong atas persetujuan Yohanis P. Aury selaku Kepala BLH Kabupaten Teluk Bintuni, meminta Fredy Warer selaku bendahara pengeluaran BLH Kabupaten Teluk Wondama untuk memproses pencairan anggaran sebesar Rp. 1 miliar.
Kemudian, atas kebijakan Yohanis Aury, Fredy Warer melakukan penarikan tunai dari rekening kas BLH Kabupaten Teluk Wondama sebesar Rp. 1 miliar, lalu uangnya diserahkan ke terdakwa dalam 2 tahap, masing-masing sebesar Rp. 500 juta.
Selaku PPTK, terdakwa mengambil alih fungsi bendahara untuk mengelola uang kegiatan dengan cara melakukan pembayaran, diantaranya membayar honor pegawai atau staf yang melakukan survei lapangan, belanja ATK, memesan tiket perjalanan dinas, dan membiayai tenaga ahli.
Di samping itu, Jhon Laotong juga membagi-bagikan sebagian dana kegiatan untuk Yohanis Aury selaku Kepala BLH dan Fredy Warer selaku bendahara pengeluaran tanpa dasar hukum yang jelas. Selanjutnya, terdakwa meninggalkan Kabupaten Teluk Wondama membawa sisa uang kegiatan tanpa menyerahkan bukti pengeluaran dan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan atas kegiatan pengkajian Amdal.
Untuk memenuhi laporan pertanggungjawaban keuangan kegiatan pengkajian Amdal, Yohanis Aury menyuruh Fredy Warer membuat Lpj Keuangan dengan melampirkan bukti-bukti tidak benar seperti membuat nota dan tiket fiktif. Tujuan dan maksud membuat LPj palsu untuk kepentingan pemeriksaan administrasi keuangan oleh BPK RI Perwakilan Provinsi Papua Barat.
Berdasarkan kuitansi dengan Nomor: 001/BLH-TW/2015 dan kuitansi Nomor: 002/BLH-TW/2015 yang ditandatangani terdakwa, Jhon Laotong telah menerima uang masing-masing Rp 500 juta dengan total Rp. 1 miliar. Uang tersebut untuk pembayaran belanja kegiatan pengkajian dampak lingkungan hidup atau UPL-UKL, lalu berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian negara dari BPKP Perwakilan Papua Barat, ditemukan total kerugian negara sebesar Rp. 578.060.000.
Berdasarkan fakta hukum itulah, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama melakukan tindak pidana korups.
Atas perbuatannya itulah, terdakwa dijerat dengan Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Setelah majelis hakim membacakan putusannya, penasehat hukum terdakwa menyatakan menerima putusan, sedangkan JPU menyatakan pikir-pikir. Oleh sebab itu, JPU diberikan kesempatan selama 7 hari untuk menentukan sikap, dan persidangan ditutup. [BOM-R1]