Jayapura – Pemerintah Provinsi Papua menaruh perhatian serius terhadap tingginya kasus Tuberkulosis (TBC) yang menjadi penyebab utama kematian pada pasien HIV di Papua.
Dengan lebih dari 25.000 kasus HIV tersebar di 9 kabupaten dan kota di Papua, TBC menjadi ancaman ganda yang memperburuk krisis kesehatan di Papua.
Tercatat, jumlah kasus HIV di wilayah Tanah Papua mencapai 54.000 kasus, dengan Provinsi Papua sendiri menyumbang 25.000 kasus. Dari jumlah tersebut, TBC sering menjadi penyebab kematian tertinggi.
“Dampak dari TBC bukan hanya pada kesehatan, tapi juga pada sektor ekonomi. Penderitanya kehilangan produktivitas, dan tentu saja kehilangan penghasilan,” ujar Plt Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Arry Pongtiku saat menghadiri workshop Hisfarma di Kota Jayapura, Sabtu (18/10/2025).
Arry menyebutkan bahwa Papua memiliki beban kasus TBC yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain, yakni sekitar 6.000 kasus aktif. Hal ini menunjukkan urgensi perlunya upaya skrining dan pengobatan secara masif.
“Kalau kita bisa menemukan sebanyak-banyaknya kasus dan mengobatinya hingga sembuh, maka sesuai target nasional, dalam lima tahun ke depan angka TBC bisa turun hingga setengahnya,” lanjutnya.
Pemerintah Provinsi Papua, kata Arry, terus meningkatkan kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan dalam upaya penanggulangan TBC, salah satunya melalui pemanfaatan teknologi Tes Cepat Molekuler (TCM) di sejumlah Puskesmas.
Dengan teknologi TCM, sebutnya, diagnosis TBC kini tidak lagi hanya mengandalkan pemeriksaan mikroskopis. Melalui TCM, hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu empat jam saja, sehingga pengobatan bisa dilakukan lebih cepat dan tepat sasaran.
“Kesiapan Puskesmas di Papua saat ini sudah mulai ditingkatkan, bukan hanya menggunakan mikroskop, tapi juga dengan TCM. Ini sangat membantu untuk deteksi dini,” ucapnya.
Arry menegaskan bahwa upaya pencegahan terbaik terhadap penyakit TBC adalah dengan menemukan penderita sedini mungkin dan memastikan mereka menjalani pengobatan hingga tuntas.
“Pencegahan terbaik bukan hanya dengan menghindari penularan, tetapi menemukan orang yang sakit TBC, lalu memberikan obat sampai sembuh. Itu artinya kita memutus rantai penyakitnya,” tegas Arry.
Upaya ini sejalan dengan strategi nasional eliminasi TBC, yang menekankan pentingnya deteksi dini, pengobatan lengkap, serta pemantauan rutin terhadap pasien. Jika penderita tidak diobati sampai sembuh, maka risiko penularan ke orang lain tetap tinggi.
Dia pun mengimbau masyarakat untuk aktif melakukan pemeriksaan jika mengalami gejala TBC, seperti batuk berdahak lebih dari dua minggu, berat badan menurun, dan tubuh lemas.